Random Story: Aku dan Sepeda

Selama di Tanjung Selor, aku punya hobi baru. Bersepeda. Salah satu yang aku syukuri, datang ke tempat baru itu memberikan kita kesempatan untuk mencoba hal-hal baru. Rasanya di Samarinda dulu, kepikiran untuk bersepeda saja tidak. Apalagi membeli sepeda. Di Tanjung Selor (Tjs) aku melakukan itu.

Memulai bersepeda di Tjs , awalnya karena diajak Mba Rika, wartawan Radar Tarakan. Kami biasanya bersepeda tiap Sabtu sore. Kebetulan Mba Rika memang punya dua sepeda. Satu sepedanya dipinjamkan ke aku setiap kali kami memulai gowes di akhir pekan.

Tentu kami bukan biker profesional. Kami hanya bersepeda untuk senang-senang. Cuma untuk jalan-jalan sore. Gowes beberapa ratus meter, lalu njajan di tepian Sungai Kayan.

Tapi buatku itu menyenangkan sekali.  Semacam healing untukku yang cuma punya libur sehari dalam seminggu. Dengan bersepeda saja, rasanya bisa me-release stress dari beban kerja sepekan lalu.

Dengan bersepeda, hati rasanya menjadi gembira dan pikiran kembali positif. Apalagi kalau track bersepedanya sambil mengunjungi tempat-tempat baru. 

Sepeda baru meski beli bekas :D


Bersepeda di depan Masjid Agung Tanjung Selor 

Aku dan sepeda mba Rika yang ga ada standart-nya 😁 (makanya kudu dipegangin)

Seperti waktu itu, kami bersepeda ke Tanjung Palas Tengah. Menuju ke sana kami harus menenteng sepeda naik perahu ketinting menyeberangi Sungai Kayan.

Dari Tanjung Selor ke Tanjung Palas Tengah memang lebih dekat menggunakan ketinting. Hanya perlu menyeberang dua menit melalui Sungai Kayan. Dibanding jalan darat yang harus memutar 20 kilometer jauhnya melalui Bulu Perindu. 

Walau pun menyeberang menggunakan ketinting itu, butuh adrenalin juga. Karena ketinting yang digunakan untuk menyeberang Sungai Kayan, kecil sekali. Hanya muat untuk kapasitas maksimal 8 penumpang dan 3 sepeda motor.

Kami yang naik sepeda, pasti ditempatkan di ujung perahu. Karena bagian tengah perahu yang lebih lebar, ditempatkan untuk sepeda motor. Berbeda dengan motor yang bisa berdiri tegak dengan standartnya. Sepeda harus sambil dipegangi biar tidak jatuh ke sungai.

Jadi waktu aku dan Mba Rika menyeberang sungai Kayan menuju Tanjung Palas itu, kami berdiri di ujung perahu sambil memegangi sepeda. Tanpa pelampung. Tak satu detik pun rasanya saat itu, tanpa membayangkan kami berdua jatuh ke sungai. Karena lebar perahunya memang kecil sekali. Tak sampai satu meter.

Tapi itu juga sih serunya. Sejak di Kaltara aku memang hobi sekali naik perahu. Padahal aku ini, tidak bisa berenang.

Bersepeda di Tanjung Palas pun menyenangkan. Suasana di sana asri sekali. Rasanya, udara di Tanjung Palas dengan udara di Tanjung Selor itu berbeda. Udara di sana, rasanya lebih segar untuk dihirup.

***

Sepeda yang biasa aku pinjam dari Mba Rika akhirnya kubeli. Walau harus menyicil dua kali, karena bulan ini pengeluaran agak banyak karena aku pindah kos. Untung mba Rika memang baik hati. Jadi dia jual sepedanya padaku. Meski dengan harga murah plus dicicil dua kali. 


Terima kasih Mba Rika!

Membeli sepeda itu, rasanya puas sekali. Sesekali kita memang harus keluar uang untuk menyenangkan diri sendiri. Setiap melihat sepeda itu, aku seperti merasa, aku punya teman baru. Harus kah aku kasih dia nama?

Aku memang selalu merasa punya ikatan emosional dengan semua barang-barangku. Apalagi yang ku beli dengan uangku sendiri. Semua barang-barangku itu, ada history-nya, ada jerih payahnya, dan ada momentnya.

 Baca juga "Random Story: Laptopku yang Kucinta"

Apalagi setelah SMP, baru sekarang ini lah aku punya sepeda lagi. Dan rasa senangnya, sama seperti saat aku punya sepeda pertamaku, saat kecil dulu. Aku bersyukur sekali, aku melalui masa kecil yang menyenangkan. Aku punya sepeda pertama saat umur 6 tahun. Sepeda mini kecil berwarna pink yang dibelikan Bapak di pasar kecamatan.

Lalu setiap hari diajari naik sepeda di depan rumah. Selama belajar sepeda bersama Bapak, aku tidak pernah dibiarkan jatuh. Makanya tidak bisa-bisa. Dan kalau belajar sepeda bersama mba Luluk, lalu aku jatuh, pasti Mba Luluk akan dimarahi Bapak.

Saat besar ini aku baru menyadari, momen  memiliki dan belajar sepeda itu berharga sekali. Tidak semua anak punya kesempatan mendapatkannya.

Membaca novel Sepatu Dahlan (biografi Pak Dahlan Iskan) saja aku menangis. Bahwa impian terbesarnya saat kecil hanya dua hal: sepatu dan sepeda. Beliau bahkan baru belajar naik sepeda ketika SMP. Itu pun, meminjam sepeda temannya. 

Makanya aku sedih sekali, kalau melihat anak kecil yang ingin punya sepeda, tapi tidak punya kesempatan untuk mendapatkannya. Tidak semua anak terlahir beruntung. Bisa mendapat hal yang mereka inginkan. Hal yang membawaku, senang menonton video Jokowi bagi-bagi sepeda kepada anak-anak. Walau pertanyaanya hanya soal ikan-ikan. (Khajjar RV)

Share:

0 komentar