Happy Birthday Mba Nur

 Hari ini, 9 April adalah hari kelahiran sepupuku, Mba Nur. Dari semua saudara per-sepupuan. Mba Nur lah, yang rasanya paling dekat denganku.

Dari silsilah keluarga, Mba Nur adalah kakak sepupu sekali dari keluarga Mamak. Bapak dia, Pakde Pri adalah kakak Mamakku. Pakde Pri adalah anak pertama di keluarga. Jadi anak-anak Pakde otomatis akan menjadi kakak sepupu bagi semua saudaranya. Begitu menurut silsilah keluarga Jawa.

Jadi meski Mba Nur, sebenarnya lebih muda dua tahun dariku. Aku tetap memanggilnya Mba. Begitu juga adiknya. Yang sebenarnya seumuran adikku, tapi aku memanggilnya Mas.

Bahkan Mbakku, Mba Luluk, yang usianya jauh lebih tua. Tetap memanggil anak-anak keluarga Pakde, dengan sebutan mas dan mba. Sedangkan Mba Nur harus memanggil semua saudara sepupunya dengan sebutan dek.  Begitu menurut silsilah keluarga Jawa (2).

Happy birthday sist... (Instagram @nurhasyib)

Aku dan Mba Nur, punya banyak momen bersama saat kecil. Walau kami terpisah daerah, Samarinda - Penajam. Tapi tiap tahun, keluarga Pakde pasti mudik ke rumah Mbah di Gunung Intan saat lebaran.

Di momen itu lah, banyak sekali kenangan lucu yang masih ku ingat hingga sekarang. Misalnya saat kami diajarin Pakde mengaji di mushola rumah Mbah. Atau saat kami main salon-salonan pakai bak mandi dan selang air. Dan keliling Blok A saat lebaran untuk mengumpulkan amplop THR.

Saat kecil, aku memanggilnya Mba Inung. Karena belum bisa bilang R. Dia sendiri juga memanggil dirinya begitu. Dulu, dia istiqomah sekali memanggil semua adek sepupunya dengan sebutan dek. Mengikuti aturan keluarga Jawa.

Dek Ajar, Dek Surya, Dek Qori, Dek Nata. Sekarang, karena sudah besar semua dan merasa sebaya, kata dek-nya hilang. Kecuali Dek Luluk. Karena pasti aneh memanggil nama orang yang lebih tua, tanpa sebutan.

Bagaimana looking Mba Nur saat kecil pun masih terekam jelas di ingatan. Waktu kecil, Mba Nur itu tomboy sekali. Rambutnya bahkan tidak pernah ku ingat tumbuh panjang melebihi bahu. Selalu terpangkas pendek seperti anak laki-laki. Baru sekarang lah, saat besar dia tumbuh lebih feminim.

Punya saudara sebaya, membuat kami merasa seperti saudara kembar. Kebetulan Mba Nur memang punya adik kembar. Jadi kami sering menyamai mereka, bahwa kami ini, juga kembar.  Nama belakang kami saja mirip. Rohmah dan Rahma. Nama bapak kami, juga mirip. Priyanto dan Priyono. 

Mas Tisya, Mba Nur, Mas Tara

Terlahir sebagai anak pertama di keluarga, membuat Mbak Nur sangat mandiri. Dia memang sudah dididik seperti itu sejak kecil. Dia bahkan sudah merantau sekolah jauh dari rumah, sejak lulus SD.

Aku dan Mba Nur sempat satu sekolah. Kami sama-sama mondok pesantren di Balikpapan. Tapi hanya sempat satu tahun bersama. Mba Nur, sudah lebih dulu mondok dua tahun sebelumnya, sejak kelas 1 SMP. Sementara aku, baru menyusulnya saat masuk kelas 1 SMA. Dimana saat itu, Mba Nur sudah kelas 3 SMP.

Saat satu tahun itu, momen kebersamaan kami terkumpul lagi. Yang biasanya, kami hanya bertemu satu tahun sekali tiap lebaran. Kami jadi hidup bersama 24/7. Kami berbagi lemari, berbagi ember mandi, berbagi uang jajan, dan makan satu ompreng.

Mba Nur lah yang menjadi tutor hidupku saat menjalani masa santri baru di pesantren. Misalnya, bagaimana kalau kami tidak dapat jatah sarapan, kami bisa ke dapur umum. Lalu makan kerak nasi pakai minyak goreng panas bekas menggoreng ikan. Memang menyedihkan, tapi rasanya saat itu, kami senang-senang saja menjalaninya.

Kami hanya hidup mewah dua kali dalam sebulan. Yakni saat orang tua Mba Nur, Pakde dan Bude datang menjenguk, lalu kami diajak jalan-jalan ke pantai Manggar. Atau saat orang tuaku datang menjenguk dan membawa banyak stok cemilan untuk sebulan kedepan.

Saat lulus SMP, Mba Nur melanjutkan SMA di Malang. Terus sampai kuliah. Dia mengambil S1 Jurusan Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Malang (UM).  Saat kuliah di Malang, aku sempat mengunjunginya sekali. Lalu diajak jalan-jalan ke Batu untuk makan ketan susu.

Kalau saat kecil, kami merasa seperti saudara kembar karena punya banyak kemiripan. Saat besar, kemiripan kami adalah soal nasib. Saat baru lulus, kami sama-sama cari kerja. Saat dapat kerja pun hampir bersamaan. Tes PNS juga sama-sama. Sama-sama gagal. (Tapi tahun ini, dia lolos PPPK yeay selamat!)

Waktu sama-sama bekerja itu, kami sering melepas stress bersama. Lalu sambat soal masalah hidup. Bahkan kami sering nyeletuk, nanti kalau sudah tua, kami mau hidup bersama dan berkebun saja. Di rumah Mbah di Gunung Intan. Tempat dimana masa kecil kami, ada di sana.

Tapi ternyata, rumah Mbah itu sudah dijual. Yang membuatku dan Mba Nur sedih sekali. Selain rumah itu penuh kenangan masa kecil kami, kami juga sedih, karena merasa kehilangan rumah masa depan. Hidup, memang sekeras ini.

Bahkan Mba Nur pernah mengajakku berjanji: "Ayo nanti, kalau kita punya uang, kita beli lagi rumah itu!" ujarnya saat kami naik bis bersama, dari Penajam ke Samarinda.

Saat masih di Samarinda dulu, kami juga punya agenda setiap pekan. Mencari tempat nongki baru, dengan random datang ke cafe-cafe. Yang paling epic sih, waktu kami cari cafe yang tersembunyi di daerah Selili. Cafenya ada di gang kecil daerah tebing yang menghadap langsung ke sungai Mahakam.

Selain itu, kami juga hobi karaokean. Kami sering menyempatkan waktu, karaokean di sela-sela kerja pada jam makan siang. Mba Nur lah yang membuatku suka lagu-lagu koplo. Kami juga hobi nonton film bersama. Apalagi kalau sedang ada film Marvel di bioskop.

Saat aku harus pindah kerja dari Samarinda, meninggalkan Mba Nur adalah salah satu hal terberat. Karena kami, jadi tidak punya waktu bersama lagi. Tidak punya teman senasib untuk sambat. Memang masih bisa telponan, atau video call. Tapi rasanya, tetap berbeda. 

Kangen nongki di Kopiria, minum Korimi-nya sambil sambat soal kerjaan.

Banyak yang aku kagumi dari Mba Nur. Sejak kecil. Dia itu pintar sekali. Dari kecil sudah hafal banyak surat dalam Alquran. Ketika aku cuma hafal surat dari An Nas sampai at takasur. Mba Nur sudah hafal An Nas sampai An Naba.

Aku juga merasa, meski dia lebih muda dua tahun, tapi dia lebih dewasa. Dia banyak menasehatiku kalau aku sambat masalah hidup. Saat dipondok dulu, saat aku santri baru dia juga sangat baik merawatku. Rasanya benar-benar seperti kakak. Padahal di sekolah, dia itu adik kelasku.

Satu keputusan besar dalam hidupnya, yang juga sangat aku kagumi. Saat dia memutuskan, melepas masa pendidikan S2-nya di Malang. Lalu pulang ke Samarinda untuk menemani ibu dan adiknya.

"S2 kan bisa nanti-nanti. Sekarang waktunya aku nemanin ibu dan adekku." 

Bismillah jadi anak baik yaa sist
 

Sekarang dia sudah diumur, yang aku harus menghitung dulu di kalkulator. Rumusnya: tahun ini dikurang tahun kelahirannya. Aku berdoa, selain kesehatan jiwa dan raga. Semoga apa pun yang ia jalani saat ini, memberinya kebahagiaan.

Dan semoga, mimpi kita untuk hidup bersama saat tua, bisa terwujud. Entah di rumah yang mana...

Happy birthday, Ryou Gozakawa!

Kami yang kalo ngegrill, udah kaya dua babi betina kelaparan

Sobat ngamor ke Tenggarong

Di Kumalaaaa 



Maap kita alay

Kiri ke kanan: Hardi, Qori, Basit, Aku, Mba Nur, Nata (Adek sepupu yang udah gede semua)



Terima kasih sudah bacaa, ba bye

 

Share:

0 komentar