THE CORNER OF MY WORLD

Everyone has a story of their life. And here are my stories about love, friendship, family, dreams, and hopes. These are all in the corner of my world. Fortunately, in this big world I have my own little corner :D

Powered by Blogger.

Kenapa judulnya Jakarta Jogja, Sat-set? Karena memang pergi ke dua tempat ini, buru-buru dikejar waktu. Segalanya dilakukan dengan super cepat. Sat-set. 

Ada penugasan dari kantor untuk mendampingi atasan menghadiri agenda di Jakarta dan Jogja. Infonya H-1 keberangkatan. Hari ini baru diinfo, besok langsung berangkat. 

Image source: marchelloka.com

Ke Jakarta dan Jogja hanya dalam waktu empat hari. Hari pertama dan terakhir adalah waktu perjalanan. Praktis di lokasi, hanya sehari-sehari. 

Berangkat Selasa menuju Jakarta. Rabu pagi kegiatan. Rabu sore off to Jogja. Kamis pagi, kegiatan. Jumat pagi sudah kembali pulang ke Samarinda. Luar biasa! 

Tapi Alhamdulillah, aku sangat menikmati perjalanan kali ini. Akhirnya ada Jakarta lagi, setelah Jakarta Kala Itu. ( Klik👉 di sini)


Semalam di Jakarta

Hanya ada waktu semalam di Jakarta, aku sempatkan untuk naik MRT. Terpenting! Karena aku ini, punya obsesi dengan kereta. 

Untungnya di Jakarta, ada tour guide gratis. Willy, junior di organisasi jaman kampus. 

Sebenarnya dulu sudah pernah nyobain naik MRT sekali. Tahun 2020. Saking pengennya nyobain naik MRT, ambil jalur pendek. Dari Dukuh Atas BNI ke Bundaran HI. Hanya 2 menit. 

Kali ini, nyobain lagi naik MRT dengan jalur yang lebih panjang. Dari Bundaran HI ke Bendungan Hilir . Karena kita mau makan di McD Plaza Sentral di daerah Setiabudi yang buka 24 jam. 

Di McD kami makan dan ngobrol sampe jam 1 malam. Banyak banget yang diobrolin. Soal kerjaan, cerita nostalgia jaman di organisasi, sampe ngomongin masa tua pengen tinggal dimana wkwkwk. 

Willy (kiri): Masa dia bilang aku selama di organisasi galak. Aku loh baik hati dan tidak sombong 🤣

Willy dan pekerjaannya adalah dream life ku dulu. Tinggal di kota besar, bekerja di bidang sesuai passion, hidup sendiri di tanah rantau, dan menikmati kesibukan kerja. 

Tapi itu dulu. Aku yang sekarang lebih memilih hidup tenang. Dengan pekerjaan yang work life balance. 

Bahkan kalau bisa memilih, ingin suatu saat nanti bisa bekerja di daerah yang sepi dengan kondisi alam yang nyaman. Misalnya di Maluku, Manado, atau Samosir, atau Atambua sekalian (hehe).  

Aku sepertinya bakal stress kalau bekerja di Jakarta. Kota yang super sibuk dan penuh ambisi. 

Keyakinanku diperkuat, saat pagi harinya. Jadi aku ditugaskan oleh atasan untuk menghadiri kegiatan dari KI Pusat di Hotel Pullman Jakarta. Sendirian. 

Di sana, ada pengumuman hasil Indeks KIP (Keterbukaan Informasi Publik) 2023 untuk seluruh provinsi. Sementara atasan and the whole team mengikuti kegiatan internal di tempat berbeda. 

Pergi ke Pullman, aku memilih naik ojek motor online dari Jakarta Pusat ke daerah Jakarta Barat. Macccceeeeeet! 

Mana panas, semua orang rasanya penuh emosi. Klakson beruntun. Driverku juga marah-marah ke pengguna jalan lain. Naik motor sudah seperti dikejar setan. Aku juga panik, karena memang sudah mepet waktu acara. Dan sempat salah hotel! Seharusnya di Pullman Central Park aku ke Pullman Thamrin. 

Rasanya tidak sanggup kalau harus menjalani kehectic-kan dan berkutat dengan macet setiap hari. 

Tapi Alhamdulillah semuanya right on schedule. Aku tetap datang tepat waktu di acara dan mengikuti sesi hingga selesai. 

Sorenya, langsung dijemput oleh bos dan Mba Intan (admin bos) untuk off to Jogja. 

Penerbangan domestik ke Jogja pukul 5 sore lewat terminal 2 Soekarno Hatta (Soetta). Masih bangunan lama yang ikonik. Dimana setiap aku melihat bangunan bandara Soetta yang ikonik ini, aku selalu terbayang adegan Cinta mengejar-ngejar Rangga di film AADC. Atau Tita mencari-cari Adit di film Eifel I'm in Love. 

Penerbangan menuju Jogja ternyata tidak sat-set. Pesawat delay hampir satu jam. Untung selama menunggu di gate, ketemu anak perempuan lucu bernama Fafa. Lumayan ada hiburan. 


Dua Malam di Jogja

Landing di Jogja, sekitar jam 7 malam. Hal menyenangkan pertama yang terjadi di Jogja adalah, NAIK KERETA! Yeay. 

Walau momen naik kereta itu, cukup menegangkan. Karena kami baru beli tiket di empat menit sebelum keberangkatan kereta. Saking buru-burunya, satu dari tiga tiket yang kami print, robek! 

Bersyukur satpam peron yang baik hati, tetap memperbolehkan kami bertiga masuk, meski tiketnya robek satu. 

Sampai peron, tinggal satu menit sebelum pintu kereta tertutup. Berlarilah kami sampai di kereta. Fyiuh, alhamdulillah sampai tekejar wkwkwk. 

Ngerasa bersalah juga sama bos yang rela lari-lari demi nurutin anak buahnya pengen naik kereta. (Kurang poin nih 😅) 

Setelah mengurus check-in hotel, aku dan Mba Intan makan di daerah sekitar hotel di kawasan Dagen. Kami memilih warung terdekat, karena kaki sudah lempoh habis lari-lari ngejar kereta. 

Begonya kami, keluar make sandal hotel yang setipis tisu. Jadi kaki tambah sakit kena kerikil jalanan. 

Menu makan malam pertama kami di Jogja, jatuh pada Gudeg. Walaupun sudah dapat rekomendasi gudeg terenak di Jogja katanya Gudeg Mak Tinah, kami hanya memilih warung gudeg random yang kami lewati. 

Aku memesan menu Burung Dara Goreng, Gudeg, dan Krecek. Sementara Mba Intan memilih menu Gudeg, Telur Bacem, dan Pete Goreng. Maknyussss langsung ludes karena kelaparan dan kehabisan energi habis lari-lari. 


 

Malamnya istirahat untuk persiapan agenda besok pagi. 

Paginya, meski agak telat aku sempatkan bersepeda di sekitaran hotel. Menyewa sepeda yang disediakan hotel, 50 ribu per jam. (Harusnya sepeda itu bisa jadi fasilitas hotel gratis buat para tamu ga si? >> Protesku dalam hati) 

Sebenarnya sudah niat jogging pagi sejak di Jakarta. Tapi karena suasana sekitar hotel Jakarta saat itu, kurang mendukung. Jadi ku urungkan niatku sampai di Jogja. 

Di Jogja karena nemu sepeda, ya memilih gowes daripada lari. Lari-lari cukup di stasiun kereta saja. Haha 

Karena hotel ada di sekitaran Malioboro, aku keliling bersepeda di sepanjang jalan itu. Menyenangkan sekali bersepeda pagi di pedestrian yang sangat terkenal se-seantero Jogja. 


Pagi itu, Malioboro sudah ramai dengan semua aktivitasnya. Baik oleh wisatawan yang berolahraga dan jalan-jalan, penjual jamu, penjual sarapan, tukang becak, dan tukang delman. 

Aku bersepeda lurus menyusuri pedestrian Malioboro. Sampai terhenti di Stasiun Tugu Jogja. Dan menonton kereta api lewat. Selalu ada sirine berbunyi sebagai pertanda kereta api akan melintas. Memang aku ini, norak sekali kalau lihat kereta api. 

Kembali ke hotel untuk mendampingi bos sebagai narasumber di suatu acara. Ternyata acara dimajukan dari jadwal awal jam 2 siang, ke jam 9 pagi. 

Mba Intan sudah panik menungguku selesai bersepeda. Lalu kami berdua (tanpa mandi) sat-set ganti baju dan hadir di acara. 

Acara selesai di siang hari. Di sini, kami sudah bebas sampai malam. Untungnya punya bos yang super mandiri. Jadi kami tidak perlu mendampingi sepanjang waktu. 

Siang itu aku dan Mba Intan memutuskan ke Pasar Gede Beringharjo. Aku memang ingin sekali ke sana setelah menonton film pendek, Tilik. Dimana ada dialog Bu Tedjo yang fenomenal. 

"Dadi wong ki sing solutif. Wes, ke Pasar Beringharjo wae," (Jadi orang tu yang solutif. Kita ke pasar Beringharjo aja) wkwkwk. Ga akan ngerti kalau kalian ga nonton filmnya. 

Link Film: 👉 Tilik

Pasar Beringharjo, luar biasa! Bersih dan nyaman. Bahkan ada eskalator di dalam pasar. Koleksi batik yang dijual, bejibun. Sampai aku yang awalnya tidak niat membeli apa-apa, akhirnya tidak bisa menahan diri untuk membeli batik. (Setan boros dalam diriku berkata: "Borong aja, kapan lagi ke Jogja? Duit bisa dicari lagi")


 

Dari pasar Beringharjo kami naik becak motor kembali ke hotel di kawasan Dagen. Sengaja memilih becak motor karena nda tega dengan pengayuhnya kalau naik becak sepeda. 

Ketawa terus selama naik becak. Karena maksa banget biar muat berdua.

Kenapa harus kembali ke hotel? Pertama untuk menaruh belanjaan yang cukup banyak. Dan kedua, aku harus mengetik berita lalu menyiapkan draft media cetak. Ingat, ke Jogja ini bekerja, bukan jalan-jalan. Jadi pekerjaan tetap harus diprioritaskan. 

Malam harinya, kami kembali eksplore Jogja. Sekaligus wisata kuliner untuk makan malam. Alhamdulillah punya travelmate yang akomodatif. Mba Intan mengikuti pilihan menu makan malamku. Dimana aku ingin makan Sate Klatak dan membeli Bleger plus Kopi Bia milik pasangan artis idolaku, Hanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca. 


 

Ingin mencoba sate klatak juga karena menonton vlog mereka, The Bramantyo's. 

Setelah take away membeli Bleger dan kopi Kafe Mamahke di daerah Keraton, kami memutuskan makan Sate Klatak Pak Kasdi di daerah Malioboro. 

Sebenarnya, kalau membaca review, sate klatak yang terkenal adalah Sate Klatak Mak Adi dan Sate Klatak Pak Pong. Tapi keduanya tidak memungkinkan. Sate Klatak Mak Adi katanya sudah tutup setengah 9 malam. Dan Sate Klatak pak Pong selalu antre. Bisa sejam menunggu antrean. 

Jadi kami memilih Sate Klatak Pak Kasdi meski tidak sesuai rekomendasi. Yang penting sudah nyobain sate klatak. 

Sate klatak adalah sate kambing muda yang dibakar dengan ditusuk besi. Bukan ditusuk lidi seperti sate ayam pada umumnya. Lalu disajikan dengan kuah, bukan bumbu kacang. 

Satenya gurih dan kuahnya sedap asin. Karena ini sate kambing, mengunyahnya penuh effort. Rasanya sudah dikunyah 33 kali sesuai Sunnah Rasul, tapi tidak juga halus. 



 

Setelah makan sate klatak, kami naik becak lagi untuk keliling Malioboro. Petualangan Mba Intan mencari kain batik ternyata belum selesai. Kami keluar masuk toko batik di sepanjang jalan Malioboro. Di salah satu tokonya, ada toko klasik yang masih menjalankan tradisi kejawen, membakar dupa. Di dalam tokonya juga banyak patung-patung replika khas Jawa. 



 

Mba Intan yang lemah bulu, langsung merinding dan pindah ke toko lain. Aku mengikuti saja. Padahal aku suka bau kemenyannya wkwkkwk. 

Setelah selesai menemani mba Intan belanja, gantian Mba Intan yang menemaniku untuk hunting foto di Titik Nol Jogjakarta. Di depan gedung BNI 1946 yang jadi landmark Kota Jogja.

Meski sudah siap membawa kamera agar bisa foto-foto. Tetap saja kami tergiur menyewa jasa street photographer karena hasil foto mereka yang lebih bagus. 


 

Sampai tidak terasa sudah pukul 1 malam, baru kami putuskan pulang. Masih menggunakan jasa becak motor yang sudah kami sewa. Sudah selarut itu, kami masih saja receh sepanjang jalan. Karena rasanya becak motor yang kami naiki, selalu oleng saat menikung jalan. Seperti akan terpisah, antara motor dan gerobak becaknya.

Belum lagi di jalanan Jogja yang sempit, kami harus berbagi dengan delman yang lewat. Lalu bersebelahan dengan kuda yang mencicit. Dekat sekali bersebelahan. Sampai rasanya seperti akan disosor cocot kuda. 

Sampai hotel, kami langsung packing karena jam 6 pagi kami sudah harus check out dan pergi ke Stasiun Tugu naik kereta menuju bandara. Yeay, naik kereta lagi. 

Tapi kali ini, tidak perlu lari-lari karena sudah booking tiketnya secara online.  

Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku berdiri di dekat pintu kereta untuk menikmati pemandangan. Karena sebelumnya, saat naik kereta di hari pertama kedatangan di Jogja, pas malam hari, aku tidak bisa menikmati pemandangan. Tidak tahu kereta berjalan maju atau mundur. 

Sepanjang jalan, aku berdiri di pinggir pintu untuk menatap keindahan Jogjakarta. Sawah, pohon, sungai. Semuanya dilalui rel kereta. Sampai aku berpikir, di masa tua nanti ingin punya rumah di pedesaan Jogjakarta yang dilalui rel kereta. Biar bisa menonton kereta lewat setiap hari. (Aneh memang) 



Petugas Facility Care kereta juga ku ajak mengobrol dan ku tanya-tanya soal kereta. Ternyata akses kereta - bandara ini baru tersedia setahun yang lalu. Bersamaan dengan pembangunan bandara baru, YIA (Yogyakarta International Airport). 

Kereta yang kami tumpangi, berjenis KRD (Kereta Rel Diesel) yang digerakkan oleh mesin diesel dan memiliki lima gerbong. Perjalanan dari stasiun tugu menuju YIA membutuhkan waktu 30 menit. Mampir sekali di Stasiun Wates. 

Good bye keretaku, semoga bisa naik lagi kapan-kapan. Ini sebenarnya bukan kali pertama naik kereta sih, dulu udah pernah (baca: Kereta Api Tuut..Tuut.. pardon, tulisannya yang acak adut dan sok-sok'an pake bahasa 'gue' baru kenal ama anak Jakarta kayanya waktu itu).
 Tapi tetep aja norak setiap naik kereta wkwkwk. 

Penerbangan kami, pukul 09.30 menuju Balikpapan. Alhamdulillah landing dengan selamat kembali ke Kalimantan Timur pukul 12 siang. 

Terima kasih Tuhan untuk anugerahnya bisa berpetualang di Jakarta - Jogja selama empat hari. Aku yang hobi traveling selalu menikmati setiap perjalanan meski dalam penugasan kerja. 


Cant wait for another trip!


Khajjar RV 


 


Butuh keberanian dan pemikiran berulang-ulang untuk aku akhirnya memutuskan, meng-up cerita ini ke blog. 

Aku niatkan menulis ini, sebagai sarana sharing. Mungkin di luar sana ada orang yang mengalami penyakit yang sama dan bisa belajar dari ceritaku. 

Jadi aku adalah penderita pterygium di kedua mataku. Sudah hampir 10 tahun aku mengalaminya. 

Bagi kalian yang belum tahu, pterygium adalah penyakit mata berupa tumbuhnya selaput yang tumbuh di jaringan bening hingga area bola mata. Diagnosa medisnya, adalah H11.0 

Image source: iStock


Aku mulai menderita penyakit ini pada tahun 2013 sejak kelas 3 SMA. Teman sekelasku lah yang menyadari, ada selaput kecil yang tumbuh di mata kananku. 

Setahun kemudian, aku memeriksakannya ke Rumah Sakit Mata SMEC di Samarinda. Saat itulah aku tahu, bahwa selaput kecil yang tumbuh di mataku itu bernama pterygium. 

Dan satu-satunya cara mengobati penyakit ini hanya dengan operasi. Hanya saja saat itu, aku belum disarankan operasi. Karena selain umur yang masih terlalu muda, selaput yang tumbuh juga masih sangat kecil. Dokter hanya memberikan obat untuk mencegah pertumbuhan selaputnya. 

Bertahun-tahun kemudian, aku membiarkan selaput putih itu bersarang di mataku. Hingga tanpa sadar, tiba-tiba mata kiriku juga tumbuh selaput yang sama. 

Aku sempat mencoba membeli obat herbal. Namun tidak ada efeknya kecuali rasa perih di mata. 

Selama masa kuliah, pterygium itu sebenarnya tidak mengganggu aktivitasku. Karena memang masih samar terlihat jika tidak diperhatikan. 

Pterygium itu baru menggangguku saat aku mulai bekerja. Karena selain selaputnya yang tumbuh semakin besar, secara estetika juga mengganggu penampilan. 

Hingga aku putuskan menggunakan softlens setiap bekerja untuk menyamarkan pterygium yang ada di mataku. 

Awal tahun 2023, aku kembali memeriksakan pterygiumku ke Rumah Sakit Swasta. Dan betapa kagetnya aku, saat pemeriksaan update mata minus, ternyata aku teridentifikasi memiliki silinder. Padahal sebelumnya aku tidak punya gejala silinder sama sekali. 

Dokter bilang, itu salah satu efek dari pertumbuhan pterygiumnya. 

Karena mulai merasa pterygium ini semakin membahayakan, aku memeriksakan secara rutin mataku ke RS Pemprov. 

Di check up pertama, dokter bilang pterygiumku masih Grade-I dan belum berbahaya. Masih aman. 

Padahal aku merasa, pterygium ini sudah sangat mengganggu. Terasa mengganjal, gatal, merah, dan terkadang panas dan perih. 

Dokter menolak melakukan tindak operasi dan hanya memberikan resep obat setiap kontrol. 

Aku berniat ganti dokter atau pindah saja ke RS Swasta. 

Saat ganti dokter inilah, aku merasa diagnosanya pas seperti apa yang aku rasakan. Bahkan di pemeriksaan pertama kami, dokter sudah menyarankan untuk dilakukan tindak operasi. 

"Wah ini sudah Grade-II, kita operasi yaa. Karena kalau dibiarkan, nanti dia semakin tumbuh ke tengah dan semakin susah kita angkat," kata dokter spesialis mata yang memeriksaku, dr. Irwan Arziansyah. 

Aku langsung setuju karena I am so sick with this pterygium thing in my eyes. Benar-benar ingin secepatnya punya mata normal just like everyone else.

Pekan depan aku langsung dijadwalkan operasi mata. Sat set-sat set tanpa rehat. Sepulangku dari perjalanan di luar kota, aku langsung operasi. 

Operasi pertama dilakukan untuk mata kananku. Karena mata kananlah yang memiliki pterygium lebih besar. 

Sebelum operasi aku mengisi beberapa data diri untuk surat persetujuan operasi dan anestesi. Lalu perawat mengecek tekanan darahku. 

"Operasi pertama mba?" 

"Iya," 

"Tegang?" 

"Nda, biasa aja," sok cool.

Ternyata pemeriksaan tekanan darahku, 130/90. Padahal biasanya tekanan darahku selalu rendah. Tidak pernah lebih 100. Aku memang agak kicep. 

Momen operasi itu tidak akan aku lupa seumur hidup. Inilah momen operasi pertamaku. Jika bisa memilih, tentu aku tidak akan pernah mau yang namanya masuk ke ruang operasi. Sungguh ruang yang dingin dan menyeramkan.

Aku ditangani langsung oleh dokter mataku, dr. Irwan Arziansyah dibantu dengan dua orang perawat. 

Setelah dibius lokal, mataku diganjal dengan penahan besi agar tetap terbuka selama operasi.  

Karena tetap sadar, aku melihat apa pun yang masuk ke mataku. Tapi karena di bawah pengaruh obat bius tentu aku tidak merasakan sakit. Malah nyaman mata seperti digaruk ketika gatal. Lalu nyess disiram air pendingin, lalu disayat, dikoret, dilas, dibersihkan, disiram tetes mata pendingin lagi, dibersihkan. Dan selesai. 

Saat selesai itu bersamaan dengan hilangnya pengaruh obat bius, mata ku sakit luar biasa. Perih dan panas. Di depan ruang operasi aku terduduk menangis ditemani oleh satu suster. 

Suster memberiku obat pil pereda nyeri. Tapi tidak ku minum karena aku tidak bisa menelan obat pil. (Fun fact about me, aku ga bisa minum obat pil terutama dalam bentuk kapsul besar). 

Jadi suster masuk lagi untuk menghancurkan obatnya ke dalam bentuk sebuk dan memberiku potongan kue untuk ku makan sebelum minum obat. 

Di momen itu aku merasa ngenes sekali. Menangis sambil memegang potongan kue, sendirian. Sampai aku berpikir, aku punya dosa apa yaa di masa lalu sampai harus menjalani cobaan sakit seperti ini. 

Sakit tak terperi.

Setelah minum obat, nyeri di mataku memang sedikit mereda. Tapi tidak tahu kenapa rasanya aku masih ingin terus menangis karena sedih akan penyakit mataku. 

Keesokan harinya, aku langsung check-up dengan kondisi mata kanan diplester seperti bajak laut. Aku belum melihat mataku sama sekali setelah operasi karena memang ditutup plester. 

Saat dokter membuka mataku dan aku melihatnya di cermin, hatiku nyess. Hancur dan menangis lagi di dalam hati karena betapa buruknya kondisi mataku. Merah, bengkak, dan masih tersisa sisa selaput pterygiumnya. 

Kata dokter, memang tidak bisa diangkat sampai bersih. Terutama dibagian area bola mata. Karena kalau diangkat akan berisiko melukai kornea. Sisa selaput itu, kata dokter akan menipis secara alami dengan bantuan obat. 

Sad, 

Dua hari pasca operasi aku masih terus menangis melihat kondisi mataku. Walau dokter bilang mataku sudah baik-baik saja dan akan segera pulih. Aku tetap menangis karena sedih akan kondisiku. Karena menangis terus, rasanya mataku tetap merah karena sembab.

Aku tidak bisa bekerja, tidak bisa memasak, tidak bisa melakukan aktivitas apapun. 

Sepekan kemudian, aku langsung operasi mata kiri lagi. Dokter memang menyarankan secepatnya, agar masa pemulihan juga lebih cepat. Jadi dokter bisa mengecek kembali kondisi mata minus dan silinderku pasca operasi. Sebab idealnya, jika operasi berhasil dan pterygiumnya hilang, minus dan silindernya seharusnya juga akan menurun. 

Aku setuju untuk operasi secepatnya, selain karena aku memang ingin segera punya mata yang sehat, aku takut sudah hilang keberanian untuk operasi lagi jika ditunda lebih lama. 

Jadi ayo cepat saja kita tuntaskan dengan keberanianku yang tersisa. 

Butuh mental kuat untuk masuk ke ruang operasi itu lagi. 

Saat operasi mata kiri, ternyata less drama. Tidak semenyedihkan operasi mata kanan. Karena selaput mata kiri memang lebih tipis. Jadi operasi lebih cepat. 

Dokter juga memberikan takaran obat bius yang lebih banyak. Jadi, efek biusnya bisa bertahan lebih lama sampai pulang ke rumah. Dan aku tidak perlu lagi menangis keperihan di ruang operasi hehe. 

Keesokan paginya aku kontrol lagi. Masih dalam kondisi seperti bajak laut. Tapi kali ini, mata kiri yang diplester. 

Dokter mengecek kedua mataku, memberi resep obat, dan menyuruhku kontrol dua pekan setelah operasi. 

Big possible aku akan menjalani operasi mata kanan lagi untuk membersihkan sisa selaputnya. Bukan karena aku hobi sekali operasi, tapi aku memang sudah bertekad membersihkan pterygium ini di mataku sampai tuntas! What ever it takes.

Setelah semua ini selesai, dokter akan memeriksa kembali kondisi mata dan mengukur jarak penglihatanku. Semoga minusnya bisa menurun dan silindernya hilang. 

Aku niatkan proses pengobatan mata yang aku jalani ini sebagai ikhtiar menjaga pemberian Tuhan. Karena nikmat penglihatan merupakan anugerah terbesar dalam kehidupan. 

Usaha tak akan berarti tanpa doa. Sembari berikhtiar, aku selalu melafadzkan doa yang ada di dalam Al-Matsurat:  

اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَدَنِي، اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي سَمْعِي، اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَصَرِي، 

"Allahumma afini fi badani, allahumma afini fi sam'i, allahumma afini fi bashari."

(Ya Allah berikanlah kesejahteraan kepadaku di badanku, berikanlah kesehatan di pendengaranku, berikanlah kesehatan di penglihatanku). 


Laa ilaha illa anta, 


Khajjar. R 


After right eye surgery (17/3/2023). Sembab habis nangis nahan perih T_T

A week later, left eye surgery (24/3/2023). Dengan kondisi mata kanan masih super red and looks so bad 

Seumur-umur masuk RS dan menjalani operasi, ya baru ini... Sehat selalu masa depan! 

Yang nemenin selama operasi dan menjenguk di masa semedi 


Dijengukin Geng Ishol



Dijengukin temen pondok, Ijot dan Upit. Jazakillah bestie

(Tanpa) Resolusi

Hai…hai. Wah kangen sekali dengan blog ini. Rasanya sudah lama sekali tidak menulis blog.

Bagaimana kabarnya kawan-kawan? Bagaimana 2023 kalian? Sudah menjalani hampir sebulan di tahun 2023. Gimana, masih kuat? 

Bagaimana pun keadaan kalian, aku doakan kita semua diberi kekuatan dalam menjalani hari-hari kita. Hidup memang berjalan seperti ini. Kalau gak berat, ya berat banget.

Jadi meski hidup kadang tidak berjalan mudah, semoga kita selalu tumbuh semakin kuat. Semangat untuk para pejuang kehidupan di luar sana.... 💪🏻💪🏻

Sebelum menulis tentang 2023, aku mau mereview dulu tahun 2022-ku. 

2022 bukan tahun yang mudah buatku. Di awal tahun, stressful sekali. 

Mulai dari perkara resolusi 2021 yang tidak tercapai, masalah pekerjaan, berusaha survive sendirian di kampung orang, dan perjuangan melawan pikiran sendiri yang sangat mengganggu. 

Di pertengahan tahun 2022, aku berusaha tegas mengambil keputusan. Melepas hal yang tidak membahagiakan dan merapikan jalan hidup akibat kegagalan resolusi di 2021. 

Tengah tahun 2022, aku memutuskan pindah kerja. Sisa tahun berikutnya, aku fokus menjalani rutinitas di tempat kerja baru...... And here it is, tiba-tiba sudah menjalani tahun baru. 2023. 

Di tahun 2023 ini, tentu aku masih punya resolusi. Mau di bawa kemana hidup tanpa resolusi?

Pict by Freepik.com

Tapi resolusiku tahun ini, lebih kepada hal-hal simpel yang bisa aku lakukan dengan diriku sendiri. Tidak lagi resolusi penuh ambisi yang berada di luar kuasaku.

Misal, di 2021 lalu resolusiku adalah punya pekerjaan yang stabil. Eh ternyata, boro-boro stabil, aku malah dipindahkan ke kantor manajemen di seberang provinsi yang aku pikir akan lebih baik. Ternyata, tidak juga.

Dari situ aku sadar, pekerjaan itu kan rezeki. Rezeki itu, Tuhan yang atur. Itu di luar kuasa kita. Jadi urusan rezeki, biarlah itu menjadi kuasa Tuhan. Aku hanya akan fokus dengan hal yang ada dalam kuasaku sendiri.

Jadi resolusiku tahun ini, hanya akan menjalani hidup dengan baik. Mensyukuri apa yang aku terima dan bersabar akan apa yang belum tercapai. 

Hidup akan terasa jauh lebih ringan jika kita memandangnya dengan sederhana.

Ngomong-ngomong soal resolusi, rasanya aku baru berpikir soal punya resolusi ini, saat memasuki usia dewasa. Saat era sekolah dulu, rasanya aku tidak pernah punya resolusi. 

Hidup sudah teratur dengan kurikulum sekolah. Belajar, ujian, naik kelas, belajar lagi, dan seterusnya. Kangen sekali menjalani hidup tanpa resolusi. 

Pun soal prestasi di kelas juga tidak pernah jadi resolusiku. Tahun ini rangking 1, tahun depan ranking 2, lalu turun rangking 5, ya ku terima saja seolah memang sudah seharusnya begitu. Tidak ada ambisi, harus rangking 1 lagi atau bertahan di rangking 2. 

Aku baru punya resolusi saat kuliah. Karena terbakar semangat motivator dan senior-senior kampus yang keren-keren. 

Saat maba dulu, kami diperlihatkan video motivasi tentang 100 mimpi. Rasanya itu jadi video wajib yang dipertontonkan untuk para maba setiap tahunnya. Jadi kita diajak untuk menulis tentang apa 100 mimpi kita. 

Ikutlah aku, menulis daftar mimpi-mimpiku di buku. Rasanya tidak sampai 100, dan sebagian besar memang terwujud. 

Fase kehidupan di kampus memang penuh energi positif. Rasanya aku ingin kembali ke masa itu, dimana semua hal terasa menyenangkan dan dipenuhi dengan orang-orang bijak yang bisa menjadi panutan. 

Di kehidupan sekarang, ingin membawa semangat membara seperti jaman kuliah dulu, tapi rasanya syulit sekali. Jangankan menulis 100 mimpi. Satu keinginan gagal saja, sudah kapok. 

Tapi aku ingat petuah Pak Dahlan: 

"Kalau semua yang kamu inginkan segera terwujud, lantas dimana letak sabar dan perjuangannya?" 

Jadi ya, mimpi boleh saja gagal. Sabar dan berjuang yang tidak boleh padam. 🔥🔥


Semangat Membara 2023! 🔥🔥


Khajjar RV 






 

Newer Posts Older Posts Home

Best of Mine

Best of Mine
Don't judge me too much if you don't know me too close

ABOUT AUTHOR

Suka Nulis || Suka Cerita || Suka Hal Baru || Dan Suka Kamu!! Terima Kasih Sudah Berkunjung :D

AmazingCounters.com

Blog Archive

  • ►  2025 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2024 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  February (1)
  • ▼  2023 (3)
    • ▼  June (1)
      • Jakarta Jogja, Sat-set!
    • ►  March (1)
      • Pterygium Survivor (Eye Surgery Experience)
    • ►  January (1)
      • (Tanpa) Resolusi
  • ►  2022 (9)
    • ►  August (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2021 (2)
    • ►  November (1)
    • ►  July (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  October (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (12)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (8)
    • ►  December (1)
    • ►  September (4)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2015 (2)
    • ►  November (1)
    • ►  August (1)

Categories

  • Article
  • Impression
  • Prolife
  • Travelog

POPULAR POSTS

  • CATATAN SKETSA: JADI GINI RASANYA DEMIS. . .
  • 15 TH OCTOBER
  • CATATAN SKETSA: BEHIND THE SCENE (BTS) BINCANG EKSKLUSIF BERSAMA PAK REKTOR
  • Review Film: Dilan 1990

Copyright © 2016 THE CORNER OF MY WORLD . Created by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates