My Sister Bride Story: Lima KLIK, Pertanda Jodoh


I believe that God created us with our each partner and must be unpredicted. But, the God's way always beautiful to unite us in a wedding. And this is my sister bride story,one of some love story with happy ending, what a crazy love........ check this out!

Lima KLIK, Pertanda Jodoh
Aku adalah penganut mazhab “tidak boleh berpacaran sebelum pernikahan”. Karena aku percaya “nikmatnya pacaran setelah pernikahan”. Terlebih, ketika kuliah aku dekat dengan anak-anak musholla (sebutan untuk para aktivis dakwah dikampus kami). Buat kami, jomblo itu pilihan, bukan nasib. Jadi kami menamai diri kami Jojoba (Jomblo-jomblo bahagia) atau High Quality Jomblo dan kami bangga dengan status itu.

Hari-hariku dikampus disibukkan dengan tugas kuliah, kegiatan musholla, seminar dan kajian sana-sini. Selebihnya, aku gunakan untuk keperpustakaan atau ketoko buku. Berbeda sekali saat aku pulang dan bekerja dikampung. Kegiatan serta komunitasku jauh berbeda. Dikampung tidak ada toko buku dan perpustakaan hanya ada di kantor desa. Dan yang lebih menyebalkan lagi, status jomblo menjadi tabu disini.

“Apa? Mba Luluk gak punya pacar?” kata teman kerja sekantorku, Tami namanya. “Emangnya mba Luluk gak mau nikah?” tanyanya setengah menghakimi, 
“maulah” jawabku kesal,
“kapan?” tantangnya
“Tahun depan” jawabku ngasal
“Emang sudah ada calon?” tanyanya memastikan
“belom” jawabku datar.
“Lah belum ada calon kok berani bilang mau nikah tahun depan, aku aja yang sudah ada pacar belum tau mba kapan mau nikah”
“hahaha…” kami tertawa berdua.

Waktu berjalan, hari-hariku dikampung disibukkan dengan pekerjaan baruku. Seperti kantor pada umumnya. Setiap Senin sampai Jumat aku kerja dari pukul delapan sampai pukul empat sore. Hanya sabtu dan Minggu liburnya, bahkan kadang dihari liburpun kami bekerja jika ada sesuatu yang harus diselesaikan.

Suatu hari Tami mengajakku makan siang.
”Mba ada yang mau traktir makan, mau ikut gak?” tanyanya,
“Eh maulah…”.

Setelah menentukan tempat, kami berdua meluncur kewarung makan yang dimaksud, kami datang kewarung itu hampir bersamaan, yang mentraktir kami ternyata adalah seorang pemuda teman dari Tami yang sebelumnya pernah diceritakan padaku, mas Rahman namanya. Setelah kami memesan makanan, kamipun duduk di kursi paling pojok diwarung itu.
“Mas Rahman ini mba Luluk teman sekantorku, anaknya pak Kades lho…” kata Tri memperkenaklan diriku.
“Kades mana?” lelaki yang bernama Rahman itu langsung menyambut.
“Kades Sri Raharja, Sebakung 2”
“Lah bapakku juga orang Sebakung 2” kata lelaki itu kemudian,
“Oh iya ta? Siapa namanya?” aku langsung menyambung karena penasaran
“Pak Adnan” jawabnya datar,
“Oooo…. Kalau itu ya aku tau, tetangga sama pak Adnan, sekalinya anaknya ustad to” selorohku.

Karena memang Pak Adnan adalah ustad dikampung kami dan beliau ketua masjid didesa kami. Selanjutnya acara makan siang berjalan lancar dengan obrolan sana-sini. Sepulang dari makan siang, aku berfikir dalam hati “kenapa ya aku kok dipertemukan dengan anaknya pak Adnan?” Yaa, kenyataan bahwa  ia adalah anaknya pak Adnan menyita perhatianku, mengapa?

Karena waktu kecil dulu ketika aku masih duduk dibangku kelas 6 SD, pak Adnan adalah tetangga baru kami. Tampilannya yang memakai sarung, baju koko warna putih dan peci yang kulihat pertamakali begitu aku sukai, selain itu beliau adalah orang yang ramah dan penyayang pada anak kecil, kalau beliau lagi ceramah aku senang mendengarkan karena kalau beliau ceramah suaranya sedang, tidak keras, tidak menggebu-gebu, santai saja, jadi bawaannya tenang dan adem. Sampai-sampai aku berkata dalam hati “enak kali ya jadi anaknya pak Adnan, kelihatannya orangnya sabar dan penyayang”.

Begitulah, seperti ada yang KLIK saat aku bertemu dengan anaknya, padahal walaupun aku dan orang tuanya bertetangga puluhan tahun, belum pernah sekalipun aku melihat anaknya yang bernama mas Rahman itu, karena memang ia tinggal terpisah dengan orangtuanya semenjak pindah kekampung kami.

Hari-hari berjalan seperti biasa, suatu saat Tami mengabarkan bahwa mas Rahman meminta nomor ponselku, aku mengizinkan Tami untuk memberikannya. Padahal biasanya, aku menolak memberikan nomor ponsel pada pria yang baru aku kenal.Entahlah kenapa yang ini aku lempeng saja, ya sudah jalani saja, pikirku kemudian.

Tak berjarak berapa lama setelah Tami sms, masuklah sms, nomor baru, “Assalamualaikum… tok tok tok” begitulah smsnya pertamakali, ya itu sms dari mas Rahman, tok tok tok karena mungkin ia bermaksud mengetuk pintu hatiku, hahaha… Dan langsung kubalas saja
“Wa’alaikusalam wr wb, mas Rahman ya?”
“Kok tau?” balasnya
“Iya soalnya tadi Tami bilang kalau sampean minta nomorku” dan bla bla bla kita sms an ngalor ngidul sampai akhirnya dia tanya “boleh telpon?”,
“Boleh” jawabku singkat.

Sejak saat itu semua hal kita perbincangkan, segala sesuatu yang ingin kutau tentang dia kutanyakan. Kadang lewat telfon, kadang sms, kadang juga ditraktir makan. Namun jarang kami makan hanya berdua, kalau tidak bertiga dengan Tami, kami bertiga dengan adik bungsuku. Bahkan pernah berlima dengan temannya, adikku dan ibuku, asyik bukan?

Lalu bagaimana sampai akhirnya kita menikah? Ya, begini ceritanya……..

Suatu malam, saat kami smsan sekitar 1 minggu setelah kami bertemu pertamakali, aku bertanya padanya “Kalau seandainya bapak sampean tau kita sering telfonan dan sms-an kira-kira apa ya yang bakal terjadi?” smsku penuh selidik.
“Mungkin dilamarkan” balasan sekenanya
“Emang menurut sampean kita berdua cocok?” tanyaku melanjutkan
“BISMILLAH…” balasannya mantap, kenapa kukatakan mantap karena ia membalas smsku tanpa jeda dan kata BISMILLAH itu penuh energi menurutku. Disinilah aku merasa mendapatkan sinyal kedua, atau KLIK yang kedua.

Hari-hariku serasa penuh warna setelah mengenalnya. Hidupku dibuat sibuk dengan smsan sambil bekerja. Sampai-sampai aku lupa dengan keinginanku untuk kuliah S2 dan mengejar semua mimpiku serta berfikir untuk pergi lagi dari kampungku.

Aku seperti menemukan dunia baru dikampungku sendiri. Hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Namun aku sadar, tak boleh aku berlama-lama terlena dengan hubungan tanpa status seperti ini, sms-an dan telfonan gak jelas.

Akhirnya pada suatu malam saat dia menelfonku, kira-kira diminggu kedua dari pertamakali kita bertemu, aku memberanikan diri bertanya.
“Kenapa sih mas sampean rajin betul smsin aku, telfonin aku, sampean suka kah sama aku?” kepalaku mulai panas. Grogi. Untuk pertamakalinya aku menanyakan hal seperti ini pada laki-laki, Baru kenal lagi.

Hal yang mungkin jarang sekali dilakukan oleh seorang wanita. Setauku hanya aku dan Siti Khadijah yang melakukan ini hehehe… Walaupun posisiku hanya bertanya untuk memastikan, biar gak di PHP in, hahaha…

Diseberang sana kudengar suara yang sepertinya tanpa berfikir panjang, dia menjawab “Suka” nada yang datar, sekarang bukan hanya kepalaku yang panas tapi jantungku juga berdetak lebih kencang.
Dengan nafas yang mulai tidak teratur aku melanjutkan, “kalau sampean suka sama aku berarti kita serius, kita sudah sama-sama dewasa, aku gak mau cuma smsan terus, telfonan terus tanpa ada kejelasan, suruh bapak sampean datang kerumahku”
“Iya” jawabnya singkat, tetap datar namun terdengar mantap. Mungkin dia panas dingin juga seperti aku. Tak lama kemudian, muncul ide konyolku, aku sedikit menggodanya dengan menanyakan “Emang sampean sudah siap nikah? Emang sampean punya uang untuk modal nikah?”
“Siap, ya kalau seribu duaribu punya” jawabnya sembarangan tapi aku tau dia serius,
“Oke kalau gitu” jawabku setuju tanpa menanyakan apa maksudnya seribu duaribu, emang modal nikah Cuma duaribu??? Tapi terlepas dari itu semua aku senang dan bersyukur, setidaknya kami berdua sudah punya niatan baik sebagai orang dewasa. Ini KLIK yang ketiga.

Esok malam setelah aku “menembaknya” ternyata orangtuanya benar-benar datang kerumaku. Walaupun hanya pak Adnan, dan sebetulnya hal yang lumrah pak Adnan datang kerumahku. Karena selain Bapakku adalah kepala Desa, Pak Adnan dan Bapak adalah kawan baik, sesama tokoh agama dikampung.

Namun kedatangannya setelah “penodongan” kemarin malam tentu punya rasa yang berbeda buatku, apakah beliau datang untuk….. melamarku??? Wah ini benar-benar kemajuan yang luar biasa dalam urusan perjodohan. Aku kaget bukan kepalang, aku tak menyangka bakal secepat ini mas Rahman menyambut “todongan”ku. Jantungku dag-dig-dug, dag-dig-dug, entah karena grogi, tegang atau kegirangan??? Tak tau lah.

Seusai mengantarkan minuman ke ruang tamu, aku duduk manis dikamar yang persis bersebelahan dengan ruang tamu, nguping. Sambil agak menjorokkan telingaku kedinding, kudengar percakapan antara pak Adnan dengan bapak,
Kulo mriki niku ajeng nangkletne, kok tirose Taufik niku kenal kaleh Luluk, nopo enggeh?( Saya datang kesini mau menanyakan, kok katanya Taufik itu kenal sama Luluk, apa benar?)”

Ya, dia dipanggil Taufik dalam keluarganya, hanya dengan teman wanita yang belakangan baru ia kenal saja ia memperkenalkan diri sebagai Rahman. Termasuk padaku, karena nama lengkapnya Taufik Rahman,

Enggeh o’ pak (Benar, pak)” jawab bapakku pendek dan langsung disambut lagi oleh pak Adnan

Loh sampean malah mpun ngertos?( Loh Anda malah sudah tahu?)”,

“Enggeh lawong kulo nggeh tangklet kaleh Luluk, wong kulo biasa terbuka kaleh anak, Luluk niku sering telponan kaleh Taufik( Iya, la saya ya bertanya sama Luluk, saya terbiasa terbuka komunikasi dengan anak, Luluk itu sering telfonan dengan Taufik)” bapak mulai menjelaskan.

Nggeh niku, la kulo teng sawah diparani kaleh ponakan kulo seng teng Muara, tirose kok Taufik kenal sama anaknya pak Kades, minta dilamarkan, la kulo kaget tapi nggeh seneng, ket mbiyen Taufik niku ajeng di jodo aken mboten purun mawon, nggeh sukur nek kaleh Luluk, mboten tebeh-tebeh la’an (yaitu, saya disawah didatangin oleh keponakan saya yang di Muara, katanya kok Taufik kenal sama anaknya pak Kades minta dilamarkan, saya ya kaget tapi senang, dari dulu Taufik itu mau dijodohkan tidak mau, ya Syukur kalau sama Luluk, gak jauh-jauh)”, kata pak Adnan panjang lebar dengan aksen Lamongan yang kental

“Enggeh pak, kulo nggeh seneng besanan kaleh sampeyan, kulo omongi Luluk, lek koe seneng bapak yo seneng Luk, wong jodoh iku seng njodohno Gusti Allah, Taufik yo bocahe jelas, wongtuane yo jelas, bapak yo ndukung ae (Iya pak, saya juga senang berbesanan dengan Anda, saya nasehati Luluk, kalau kamu bahagia, bapak juga ikut bahagia, jodoh itu yang menjodohkan Allah SWT, Taufik itu anaknya jelas (asal-usulnya), orangtuanya juga jelas, bapak mendukung saja)” bapakku menimpali.

Aku senyum-senyum sendiri dikamar. Untuk urusan jodoh, bapak memang sangat demokratis. Setelah berbincang-bincang agak lama akhirnya pak Adnan menutup pertemuan dan berpamitan. 

Nggeh sampun lek ngoten, lek mpun tangklet kan mpun jelas, lek ngoten minggu-minggu ngarep lah kulo tak mriki mbeto keluarga (Baiklah kalau begitu, kalau sudah bertanya kan sudah ada kejelasan, kalau begitu minggu depan saya datang lagi membawa keluarga)”
Enggeh pak, monggo-monggo (Baiklah pak, mari-mari…)” bapak menjawab. KLIK yang keempat.

Wah urusan semakin serius nih, sekarang sudah melibatkan keluarga segala dan benar saja, tepat seminggu setelah kedatangan pak Adnan, pak Adnan kembali datang dengan membawa beberapa anggota keluarga untuk melamarku secara resmi.

“Assalamualaikum…” suara salam kompak, terdengar dari luar, “waalaikumussalam…” kami menjawab dan mempersilahkan masuk rombongan pak Adnan. Rombongan terdiri dari pak Adnan selaku ketua rombongan, anak sulung pak Adnan atau kakaknya mas Rahman, dua orang sepupunya beserta suami, dua orang tetangga kami yang dekat dengan keluarga pak Adnan dan seorang ustad dari Desa Muara Telake, Desa asal pak Adnan sebelum pindah kekampung kami.

Oh ya mas Rahman juga ikut, aku yang memintanya karena ibuku ingin melihat calon mantunya, hihihi. Adapun dari pihak keluargaku adalah kami sekeluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan satu adikku, umyku atau ibu angkatku yang jauh-jauh datang dari kota Grogot demi menyaksikan hari bersejarah buat putrinya, dan keluarga bibiku yang terdiri dari lima anggota keluarga.

Rumah kami cukup ramai saat itu, ibuku pun menyiapkan hidangan yang cukup spesial untuk menjamu rombongan yang datang. Acara dibuka dengan sambutan awal dari pihak pak Adnan untuk menyampaikan maksud dan tujuan, kemudian disambut oleh Bapak selaku tuan rumah. Dan terakhir pemakaian cincin dijariku sebagai tanda ikatan diiringi dengan menyerahkan barang bawaan atau seserahan dari pihak laki-laki. Acara ditutup dengan do’a.

Untuk tanggal pernikahan belum bisa ditentukan dan akan dikoordinasikan kemudian oleh kedua belah pihak. Itulah hasil pertemuan pada malam itu. Malam yang sangat bersejarah, aku masih ingat tanggalnya, yaitu tanggal 25 Oktober 2012 diminggu ketiga sejak pertamakali kita bertemu.
Dan malam itu aku sudah resmi BERTUNANGAN dengan mas Rahman, atau bahasa agamanya di KHITBAH. Waw, kemajuan yang luar biasa dalam hidupku, dan babak baru akan segera dimulai. Ini KLIK yang kelima.

Aku tersentak dari lamunanku, satu bulan berlalu, satu bulan aku mengenalnya, satu bulan pula sekarang aku hampir jadi miliknya. Tinggal satu langkah lagi yaitu akad nikah, maka aku akan benar-benar jadi miliknya, hidup bersamanya, sampai tua sampai maut memisahkan, apa ia dia benar-benar jodohku, apa ia dia lelaki yang baik, apa ia aku akan terus mencintainya, akan terus menghormatinya, akan terus menyayanginya sampai tua?

Sedangkan terbentang perbedaan diantara kita, aku seorang sarjana dia bukan sarjana, aku orang kantoran dia wiraswasta biasa, teman-temanku, masa kecilku, lingkunganku sangat berbeda dengannya, sifat kami juga jauh berbeda.

Aku suka bicara, dia tidak, aku suka sekali bercanda, suka tertawa lepas sedangkan dia senyum saja susah. Apa iya kita akan bisa menyatukan fikiran dalam ikatan berumahtangga?
Mengapa aku begitu mudah bilang padanya untuk segera melamarku, mengapa aku tak memikirkan hal ini sebelumnya? Ow… ow ya Tuhan… Aku memperbanyak dzikir dan do’a setelah memikirkannya, aku juga shalat Istikhoro seperti yang disyariatkan dalam agama.

Aku mohon petunjuk, mohon ketenangan dan mohon kemantapan. “Jika memang ia jodohku, lancarkan sampai pernikahan ya Allah, jika bukan maka jangan putuskan tali Silaturahimku dengan keluarganya, Amin”

Setelah acara pertunangan itu aku semakin intens berkomunikasi dengannya. Mas Rahman emang seorang yang sangat low profile, tak banyak bicara, membuat semua urusan seolah-olah mudah, tapi ia serius dan dewasa.

Demi menambah kemantapanku memilihnya, diam-diam aku mengetesnya dengan mengajukan satu pertanyaan, “Mas kalau seandainya sewaktu-waktu orangtuaku berubah pikiran dan membatalkan pertunangan ini gimana? Apa yang bakal sampean lakukan?” ia diam.
“Ndak ada”,
“loh kok ndak ada” protesku “Kita kan sudah tunangan”,
“tapi kan belum menikah” jawabnya mudah “ yang sudah nikah aja bisa cerai apalagi yang belum” dia melanjutkan,
 Iya juga sih, fikirku. “Terus sampean gak sedih gitu klo pertunangan kita batal?” nadaku mulai protes,
“Ya sedih” jawabnya pendek.
“Terus klo sedih kok diam aja?” aku menginterogasi,
“ya mau ngapain, sabar aja”
ya Tuhaaan, ini orang atau apa, “Jadi kalau sampean suka sama cewe tapi orangtuanya melarang, sampean bakal tinggalin dia, gak memperjuangkan cinta sampean?” aku berusaha menyimpulkan.
 “iya,” enaknya dia jawab,
“ya kasiaan cewe sampean mas” aku terbawa emosi
“ya untuk apa kalau orangtuanya gak setuju, mana enak nikah tanpa restu orangtua, cari masalah aja”.

 Aku diam. Memang itu juga sih jawaban yang aku fikirkan, dan YES, dia lolos ujian. Kita sepaham dalam hal ini. Tapi tenang mas Rahman, itu hanya tes, orangtuaku gak kaya gitu kok, hehehe…

Dalam renunganku kemudian, oke, Insya Allah dan Bismillah aku niat menikah untuk mengikuti sunnah Rasul-Mu ya Allah, untuk beribadah, untuk menyempurnakan separuh agama, aku akan menerima siapapun jodoh yang akan Engkau pilihkan untukku.

Kalaupun ia mas Rahman, akan kuterima ia dengan segala kekurangan dan kelebihannya, aku akan mencintainya, menghormatinya dan mengikuti nasehatnya. Aku akan memperlakukan sebagaimana suami harus diperlakukan dalam ajaran agama.

Apa masalahnya jika dia bukan sarjana, yang terpenting dalam berumah tangga adalah kedua belah pihak mengerti dan menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami dan istri, maka Bismillah aku bahagia memilihmu.

Hari itu adalah tanggal 11 Januari 2013 bertempat dimasjid Al-Barokah ba’da shalat jum’at, mas Rahman melaksanakan Ijab-Qabul, bapak sendiri yang menjadi Wali, disaksikan oleh kerabat dan sahabat-sahabatku yang jauh-jauh datang dari Penajam, Samarinda, Balikpapan, dan Grogot.

Alhamdulillah kami resmi menikah dan itu terjadi dibulan ketiga sejak pertemuan kami yang pertama. Setelah menikah baru aku tau bahwa selama ia menantikan jodoh, beginilah do’a mas Rahman: “Ya Allah berikanlah aku jodoh yang baik, yang orangtuanya baik pada orangtuaku, dan orangtuaku baik pada orangtuanya, Amin” ya Allah indahnya do’a itu, dan Insya Allah do’amu terkabul mas.

Written by my beloved sister  Luluk Munawaroh. 
Contact her on lulukmunawarohrahman@yahoo.co.id



Share:

0 komentar