Lebaran di Tiga Pulau

Awalnya, judul blog ini hanya Lebaran di Sebatik. Tapi setelah ku pikir-pikir, karena aku juga pergi ke dua pulau lainnya, aku rangkum saja di judul. Menjadi Lebaran di Tiga Pulau, (hehe).

Jadi, blog ini adalah rangkuman perjalananku saat menghabiskan momen Lebaran Idul Fitri 2022 lalu, di tiga pulau terluar di Provinsi Kalimantan Utara. Pulau Sebatik, Pulau Nunukan, dan Pulau Tarakan.

Ya, ketiganya merupakan pulau terpisah di tengah laut. Jadi setiap menuju pulaunya, harus menyeberang menggunakan kapal (speedboat). What a memorable trip!

Keputusan untuk tidak pulang kampung saat lebaran demi bisa menghabiskan waktu keliling Kalimantan Utara, memang sudah aku rencanakan. Karena mempertimbangkan, usai lebaran sepertinya aku akan meninggalkan Kalimantan Utara.

Jadi waktu yang tersisa, harus dimanfaatkan dengan optimal. Aku harus sudah sampai ke ujung Kalimantan Utara. Supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari. Bisa jadi penghiburan juga, meski nanti sudah tidak lagi di sini, paling tidak aku sudah sampai ke ujungnya. Yang penting sudah sampai ke Sebatik. Itu harga yang paling setimpal jika harus meninggalkan Kalimantan Utara.

*** 

Sabtu, 30 April 2022

Perjalananku ke tiga pulau, dimulai langsung dari yang terujung. Ke Pulau Sebatik. Aku berangkat H-2 lebaran. Perjalanan dimulai dari Tanjung Selor, domisiliku selama di Kalimantan Utara.  Di Tanjung Selor, aku janjian bertemu dengan sahabatku, Nure. Dia lah tuan rumah yang akan menampungku selama di Sebatik. 

Nure sudah memulai perjalanan sehari sebelumnya, dari Samarinda. Melalui perjalanan darat, Samarinda - Berau - Tanjung Selor. Kami bertemu di Pelabuhan Penyeberangan Kulteka. Lalu naik speedboat selama 1,5 jam menuju Tarakan. 

Sebenarnya, perjalanan laut itu bisa dipangkas dengan langsung mengambil rute Tanjung Selor - Nunukan. Tapi saat itu adalah arus mudik lebaran. Susah sekali mendapatkan tiket kapal. Belum lagi harus mencocokkan jadwal kedatangan Nure di Tanjung dengan jadwal keberangkatan kapal. 

Jadi kami putuskan untuk melewati jalur reguler, Tarakan - Nunukan. Nunukan  - Sebatik. Jika diakumulasi, total perjalanan laut dari Tanjung Selor menuju Sebatik ini, bisa sampai 5 jam. Luaaarrr biassaaaa. 

Dari Tarakan ke Nunukan, kami naik speed besar kapasitas 30 orang. Dimana beli tiket ini, sudah seperti rebutan BLT. Susah sekali. Katanya setiap arus mudik lebaran memang sesulit itu mendapatkan tiket. (Tolong dong, Dishub…)

Kami berhasil mengamankan dua tiket speedboat Sadewa Express untuk keberangkatan jam 3 sore. Walau akhirnya, kami dialihkan naik speedboat Minsen Express, karena jadwal keberangkatan yang lebih cepat.

Dari Tarakan menuju Nunukan, perjalanan laut ditempuh selama kurang lebih 3 jam. Alhamdulillah, tidak ada drama mabuk laut. Aku sepertinya sudah terbiasa dengan transportasi air, setelah dari Lumbis Pansiangan. Terima kasih Lumbisss.

Baca perjalanan seru lainnya: Jalan - Jalan ke Lumbis Pansiangan 

Speed kami bersandar di Pelabuhan Nunukan. Dari sana kami langsung dioper ke speed kecil menuju Pulau Sebatik. Dari Nunukan ke Sebatik ternyata dekat sekali. Hanya 10 menit. Speednya pun kecil, dengan kapasitas maksimal 8 orang. Persis seperti speed penyeberangan Balikpapan - Penajam.

Nunukan dan Sebatik memang dua pulau yang saling berhadapan. Dari arah laut, melihat Pulau Sebatik ternyata besar juga. Bahkan lebih besar dari Pulau Nunukan.

Aku tidak bisa menyembunyikan kenoraanku saat speed semakin mendekat ke Pulau Sebatik. Tidak percaya saja, aku akan sampai ke sana. Dalam perjalanan hidup, terkadang memang selalu punya kejutan-kejutan manis.

Motoris speed kami dengan baik hati, sempat mematikan mesin di tengah laut. Agar aku bisa mengambil gambar Pulau Sebatik. 


Sebatik merupakan sebuah pulau terdepan dan terluar di Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Secara administratif, Sebatik merupakan kecamatan di bawah Kabupaten Nunukan. Daratan Pulau Sebatik ini, terbagi ke dalam dua teritori negara. Di bagian selatan, masuk ke dalam wilayah Indonesia. Dan di sisi utara, masuk ke Negara Bagian Sabah, Malaysia.

Speed kecil yang kami tumpangi akhirnya sampai di Pulau Sebatik. Kami menepi di daerah Bambangan. Dari sana, kami dijemput orang tua Nure, menuju rumah mereka di daerah Sungai Nyamuk, Sebatik Timur.

Kami melalui jalan utama Lingkar Sebatik yang sudah aspal mulus. Sepanjang jalan, banyak pos jaga TNI AD. Itu lah karakteristik wilayah perbatasan. Ketahanan nasional harus diperkuat dengan pertahanan militer. Untuk menjaga wilayah kedaulatan negara dan antisipasi ancaman dari negara lain.

Di jalan lingkar itu, belum masuk ke wilayah pemukiman. Jadi sepanjang kanan - kiri jalan masih wilayah hutan. Walau sebagian, sudah beralih fungsi jadi kebun sawit. Aku juga menerima banyak informasi tentang Sebatik saat obrolan di dalam mobil, bersama Bapak Nure, Haji Palani. 

"Sebatik ini ada 5 kecamatan, tapi semuanya Sebatik. Sebatik Induk, Sebatik Barat, Sebatik Tengah, Sebatik Utara, dan Sebatik Timur"

"Mayoritas sukunya om?"

"Bugis,"

Mayoritas suku di sebatik, hampir 90 persen memang Bugis. Suku aslinya seperti Tidung dan Dayak tidak terlalu banyak bermukim di pulau ini.

Sampai di rumah Nure, sudah menjelang sore. Kami langsung berbuka puasa bersama. Mama Nure sudah menyiapkan menu special, mie goreng hitam, telur mata sapi setengah matang, dan palumara. Bagi anak kos, makanan rumahan memang selalu istimewa. 


Usai bersantap buka puasa, kami langsung beristirahat. Perjalanan seharian di tengah laut, meski seru, tetap saja melelahkan. 

Hari-hari di Sebatik, lebih sering kami habiskan di dalam rumah. Bukan tanpa alasan, itu karena cuaca di Sebatik, panas sekali. Karakteristik daratan pesisir yang berada di dekat laut. Sebatik merupakan sebuah pulau, maka disetiap sisinya dikelilingi oleh laut. Wajar cuaca di sana, terik sekali. Saking panasnya, aku dan Nure hanya keluar rumah di sore dan malam hari. Nure memang sudah mewanti-wanti sebelumnya, “Jangan kaget yaa, di Sebatik panas sekali.” 

 


 

Hari H Lebaran, Senin 2 Mei 2022

Hari H lebaran kami menghabiskan waktu keliling rumah kerabat keluarga Nure. Keluarga Nure, banyak sekali. Setiap bertemu keluarganya, aku harus melenturkan lidahku memanggil Pak Cik dan Mak Cik. Karena di sana, tidak ada istilah om dan tante. 

Meski panggilan orang di sana menggunakan Bahasa Melayu, tapi bahasa tuturnya lebih banyak menggunakan Bahasa Bugis. Bahkan semua percakapannya full Bugis. Membuat ku hanya terdiam mendengar mereka bercakap-cakap begitu serunya. 

Kadang, bahkan aku tersenyum-senyum sendiri mendengar percakapan mereka, meski aku tidak mengerti. Mendengar dan melihat cara  mereka berbicara itu sangat menyenangkan. The way they talk just so fun.

Meski tidak mengerti bahasanya, aku bisa memaknai apa yang mereka sampaikan dari ekspresi wajah dan logat. Jadi ketika mereka tertawa aku ikut tertawa. Karena pasti hal lucu yang sedang diceritakan.

Bahasa daerah memang kadang terdengar lebih menggairahkan, ekspresif, dan penuh semangat. Kadang ada beberapa kata dalam bahasa daerah, yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Atau pun jika ada, maknanya jadi berbeda. Tidak sedalam apa yang dimaksud. Itu lah kekuatan magisnya bahasa daerah. Hidup bahasa daerah!!! 

Di sisi lain, aku hanya merasa senang saja. Bisa berada dan merasakan momen seperti itu. Sepenuhnya di tempat asing, dengan orang asing, berbahasa asing, tapi justru aku merasa sangat diterima dan familiar. 

Aku senang bisa mengetahui akulturasi budaya yang sudah sangat melebur. Seolah memang sudah seharusnya seperti itu. Bagaimana orang-orang sebatik berbusana Melayu, tapi masih berbahasa Bugis. 

Hari terakhir di Sebatik, aku sempatkan ke semua tempat-tempat ikonik di sana. Mulai dari Tugu NKRI, Patok Perbatasan, dan Rumah Merah Putih.  


Tugu Perbatasan Garuda Perkasa, Sebatik Utara











Patok Perbatasan


Rumah Merah Putih


Kamis, 6 Mei 2022: Sebatik-Nunukan

Dari Sebatik, aku bertolak ke Nunukan. Memulai perjalananku sendirian dari sana. Nure dan Pak Ciknya mengantarku kembali ke pelabuhan speed di Bambangan. Speedku dibayarkan Pak Cik Nure sebesar 20 Ringgit. Agar speed ku langsung jalan, meski hanya dua penumpang.

Aku lupa menyebut, di Sebatik transaksi ekonomi di sana memang menggunakan dua mata uang. Rupiah dan Ringgit. Aku bahkan mengantongi 40 Ringgit Malaysia sebagai oleh-oleh THR dari sana (haha). 

Hanya perlu 10 menit menyeberang dari Sebatik ke Nunukan. Speedku bersandar di pelabuhan Sungai Bolong, Nunukan.

Aku di jemput Dayah, sahabatku saat sekolah menengah atas. Pertemuan itu, sedikit mengharukan. Karena itu adalah pertemuan pertama kami, setelah 9 tahun lamanya berpisah pasca lulus dari asrama. 

Cerita Tentang Daya

Aku hanya semalam tinggal di Nunukan. Bersama Dayah aku diajak keliling Nunukan. Pada malam hari kami nongkrong sebentar di alun-alun, lalu ke cafe di atas laut. Dan siangnya, pergi ke Islamic Center Nunukan sambil menunggu tiket kapal menuju Tarakan. 


 

Jumat, 6 Mei 2022: Tarakan  

Dari Nunukan aku naik speed lagi menuju Tarakan. Kali ini, speednya lebih besar dengan kapasitas 70 penumpang. Di sepanjang perjalanan, aku sempat menelpon Bapak yang mengkhawatirkan perjalananku di trip kali ini. Jadi di setiap pemberhentian, aku selalu mengabarkan bagaimana keadaanku, dimana posisiku, dan dengan siapa aku bersama. Beliau selalu senewen kalau aku sedang berada di atas laut. Karena aku tidak bisa berenang. Mungkin beliau juga heran, kenapa anak perempuannya satu ini, senang sekali pergi jauh.

Di Sebatik ada siapa? 

Temen pak.

Di Nunukan?

Temen juga,

Di Tarakan? 

Temen juga. 

Banyak betul temanmu? 

Iya ternyata...

Sampai di Tarakan, aku dijemput Lathi di Pelabuhan SDF. Dia gercep sekali menjemputku langsung di gedung terminal. Lalu tiba-tiba mendatangiku, tepat sebelum aku naik bis DAMRI.

"Hey" sergahnya.

"Heeeeey," jawabku dengan lebih panjang.

Selama tinggal di Kalimantan Utara setahun terakhir, aku memang sempat beberapa kali menyeberang ke Tarakan. Dan Lathi selalu menjamuku. Sehingga rasanya dia sudah terbiasa dengan kedatanganku di kotanya. 

With Lathi

Di Tarakan, aku juga hanya bermalam satu kali. Datang Jumat sore, Sabtu siang sudah pergi lagi untuk pulang ke Tanjung Selor. Sehingga nyaris tidak pergi kemana-mana selama di Tarakan. Padahal, kalau mau berkeliling banyak juga temanku yang tinggal di kota ini. 

Baiknya, teman-teman pondok sepakat datang ke rumah Lathi. Kami mengadakan reuni kecil. Ada Adhel, yang sekarang menjadi ustadzah di RA. Dia berubah menjadi sangat alim dan bercadar. Suaminya, sedang menyelesaikan studi di Al Azhar Mesir. (Ayat-Ayat cinta in real life wkwkkwk)

Ada Rahma, yang dulu sangat tomboy dan hits di asrama sekarang juga sudah beranak tiga. Ada Sirah yang juga sudah menikah dan membawa anak-anaknya. Dan Nurul Mawaddah yang ku kenal saat kami sama-sama kursus di Pare dulu. Senang sekali rasanya bisa berkumpul bersama mereka lagi meski pun singkat. 


Sabtu, 7 Mei 2022: Kembali ke Tanjung Selor

Sabtu sore aku kembali ke Tanjung Selor karena Minggu sudah kembali bekerja. Puas sekali rasanya selama lebaran, bisa road show ke tiga pulau. Setelah ini aku tidak akan menyesal jika harus meninggalkan Kalimantan Utara, karena sudah keliling hingga ke ujung-ujungnya. 

Meski masih ada tiga tempat lain yang ingin ku datangi. Krayan, Sei Menggaris, dan Bunyu. Semoga bisa di kesempatan lain....

Salam, Kaltara di hati

Khajjar.R

 

-- Photo Dump -- 

Di speed Tjs - Tarakan



Shalat Ied


Bersama Makci2 centes




Ketemu Wana



PLBN Sei Pancang, Sebatik       








Foto dengan background daratan Tawau, Malaysia


Good bye Sebatik






View Pulau Sebatik dari Nunukan  





Speedboat Nunukan - Tarakan kapasitas 70 penumpang

Share:

0 komentar