120 HOURS IN TARAKAN


Tarakan Island (Source: wikipedia.org)

Saya punya hoby traveling. Suka dan mau banget ke tempat-tempat baru yang belum pernah saya kunjungin. Dan target saya, minimal setahun sekali harus travelingan. Entah itu sekedar jalan-jalan atau ada kegiatan tertentu. Dan Alhamdulillah tiga tahun terakhir, kesempatan itu selalu ada. 2014 lalu pergi ke nikahan keluarga di Lamongan, 2015 PJTLN ke Palembang, les bahasa Inggris ke Pare, Kediri, dan travelingan ke Malang-Jogja. 2016 yang paling berkesan, karena baru pertama kali ke luar negeri dan tinggal selama 45 hari di pedalaman Kubar, dalam rangka KKN.

Nah 2017 ini yang stagnan. Saya udah mikir kayaknya saya gak bakal kemana-mana deh tahun ini.   Pertama karena saya fokus di organisasi. Ya, berhubung saya ketua, jadi gak bisa ditinggal kemana-mana. Gak kayak dulu, waktu masih jadi anggota dan suka alpa kegiatan. Kedua, saya mau fokus di skripsi. Target lulus tahun ini mesti dikejar. Tapi selama ada peluang buat travel dan itu tidak terlalu mengganggu dua alasan tadi, ya kenapa enggak?

Dan kesempatan itu beneran datang. Tuhan kasih rejeki buat travelingan ke Tarakan. Gratis pula. Kok bisa? Nah gini ceritanya.......

Ada temen pesantren saya dulu, yang mau nikah tanggal 13 Agustus. Dia nge-share undangan  lewat grup WA alumni. Temen-temen saya yang lain (as usual) ngasih ucapan selamat, "semoga samawa" dan sebagainya. Saya gak ngasih ucapan macam gitu tuh, saya iseng bilang "kalau dibayarin saya bakal datang bantu rewang." Awalnya cuma bercanda, eh tapi ditanggapin serius. Saya gak tau yaa, itu emang saya yang lagi lucky atau emang temen saya yang kelewat baik. Ada juga hikmahnya suka ngomong frontal yaa (^_^)

Singkat cerita, akhirnya saya berangkat pada 12 Agustus, sebenarnya yang dibayarin dua orang, saya dan satu temen lagi di Balikpapan. Tapi karena dia gak bisa ninggalin kerjaannya, jadi lah saya berangkat sendiri. Orang kalau sudah punya tanggung jawab kerja emang susah. Jadi bersyukurlah kita sebagai pengangguran bertitel 'mahasiswa' ini. 

Oh ya, saya mau ceritain dikit, tentang temen saya yang nikah ini. Namanya Nur Atika, dipanggil Tika. Kita temen satu angkatan, tiga tahun di pesantren dari 2010-2013. Dulu dia kelas Bahasa, saya IPA. Di pesantren dia termasuk santri yang labil, suka goncang, sering sakit, tapi alhamdulillah bertahan sampe lulus. Dia adik kesayangan ketua asrama dan satu club di teater sama saya.


Tika, kiri (foto ini diambil waktu kelas 1 MA, sebenarnya saya nyari yang ada sayanya, ketemu. Tapi nista banget eh muka saya. Jadi cari yang aman dan cantik aja)

Bukan rahasia lagi sih, kalo ikatan (baca: ukhuwah) yang dibangun di pesantren itu emang kuat banget.  Apalagi kalau satu angkatan. Saya jadi inget, dulu waktu saya masih santri baru, temen saya yang santri lama, Halimah pernah bilang gini "Di sini tuh Jar, kamu bakal nemuin temen yang udah kayak saudara banget." Dan itu kebukti. Bahkan meski kita udah pada lulus gini. (Saya pengen bikin tulisan tentang pesantren, doakan saya jauh dari sifat malas dan niatkan ini sebagai syiar biar generasi muda banyak yang belajar ke pesantren).

Balik lagi ke pembahasan utama, akhirnya saya berangkat Sabtu sore waktu itu. Saya excited banget untuk pertama kalinya bakal terbang ke Tarakan. Saya emang selalu berkesan dengan semua hal yang baru 'pertama kali' saya lakukan. Termasuk penerbangan.  Karena ini jadi penerbangan lokal pertama saya. penerbangan lokal satu pulau di Kalimantan. Sama excitednya waktu pertama kali ngerasain penerbangan luar negeri. Jadi kalau Pak Habibie addicted sama pesawat, saya addicted sama penerbangan. Saking semangatnya, biar pesawat saya delay dua jam, saya tetep bahagia. Penerbangan Balikpapan-Tarakan ditempuh selama 50 menit. Sedihnya saya duduk di seat C. Padahal pengennya di A atau F. biar bisa lihat Pulau Tarakan dari jendela pesawat. 

Ada dua hal yang membuat saya sangat semangat pergi ke Tarakan, pertama yah karena ini pertama kali. Dan kedua karena saya bakal reuni dengan teman-teman alumni pesantren yang ada di Tarakan.  Kebetulan temen dari Tarakan yang satu angkatan dipesantren itu emang banyak banget. Hampir selusin deh kayaknya. Selain Tika, ada Adhel, Ani, Hafsa, Rifa, Afna, Ida, Rahma, dan my besties Lathi. Belum lagi yang adik dan kakak tingkat. Jadi travelingan kali ini, juga diniatin buat silaturahmi. Biar panjang umur!

Sesampainya di Bandara Juwata Tarakan, saya dijemput sama sahabat saya, Lathi. Di antara temen-temen Tarakan lainnya, saya emang paling deket sama Lathi, karena kita dulu sekelas di IPA. Kita juga satu geng, yang namanya aneh. Five Chun. Five karena kita berlima, saya, Lathi, Dayah, Nenti dan Nita. Chun, itu sebenarnya nama panggilannya Lathi karena dia ngefans banget sama aktor Taiwan, Wu Chun, jadi kita panggil dia Lathi Chun. Dan saya gak tau asal-muasal sebab-musabab akhirnya itu jadi nama geng kita.

Pertemuan pertama setelah 4 tahun lulus. Hua dramaaa😭😭😭

FYI, bandara Tarakan udah jadi Bandara internasional lo. Bagus bandaranya. Ya gak kecewa lah dari Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan yang super classy, ke bandara Juwata. Bedanya cuma lebih kecil aja. Bandara Juwata cuma punya tiga gate. Desain dalamnya kayak perpaduan Soekarno Hatta sama Adisucipto Jogja.  Secara umum, Kota Tarakan yang saya amati sekilas dari perjalanan bandara ke rumah temen saya di daerah Karungan, bagian Tarakan Timur, Tarakan kotanya cukup bersih. Jalan besarnya udah dua jalur kayak di kota-kota besar. Lampu jalannya banyak dan nyala semua. Kira-kira taiap 10 meter ada lampu jalan. Samarinda aja kalah. 

Sekedar informasi, Tarakan itu satu-satunya kota madya di Kalimantan Utara (Kaltara). Makanya banyak yang ngira kalau Tarakan itu ibukota. Padahal ibu kotanya Kaltara itu Tanjung Selor di Kabupaten Bulungan. Tarakan sendiri secara geografis adalah pulau yang berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi. Penduduk aslinya itu setahu saya suku Tidung, tapi ternyata juga banyak pendatang di sana. Terutama Bugis dan Jawa.  Bahkan saya baru tau setelah saya kesana, kalau Tika CS itu ternyata Bugis. Saya pikir selama ini mereka suku Tidung.

Saya lihat banyak hotel dan banyak masjid, menandakan kota ini banyak dikunjungi wisatawan dan penduduknya agamis. Ada Islamic Center juga loo. Tapi saya gak mampir.  Banyak TNI juga, terutama TNI AL. Mungkin karena Tarakan dekat sama perbatasan Malaysia. Bahkan di Karungan, tempat saya menginap, ada pelabuhan TNI AL. Keren. Pertahanan militer memang harus kuat diwilayah perbatasan untuk menjaga wilayah kedaulatan negara dan antisipasi ancaman dari negara lain.

Saya bermalam di rumah Tika. Rumah Tika itu khas rumah orang bugis, rumah panggung yang panjang kali lebar. Kamarnya banyak dan dapurnya luas. Rumah di sana rata-rata emang gitu. Rumah Lathi juga. Saya jadi ngerasa di kampung Upin Ipin. 

Minggu 13 Agustus adalah harinya. Hari H pernikahannya Tika.  Paginya akad, siangnya resepsi. Saya seksi dokumentasi, jadi tukang foto selama akad. Seneng banget akhirnya ketemu banyak temen, kakak dan adik tingkat di pesantren dulu. Ada Adhel, Hafsa, Ani, Rahma, Kia, dan Icha, Kak April dll. 






Tika dan suami. Jangan nanya kapan nyusul!

Selama di Tarakan saya sempat jalan ke Hutan Mangrove di KKMB (Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan), ke Museum Rumah Bundar, ke Pelabuhan Laut Tengkayu dan Pantai Amal. Sebenarnya banyak destinasi wisata di Tarakan, tapi karena waktu yang terbatas, hanya tempat-tempat tersebut yang berhasil saya datangi. 

Masuk Hutan Mangrove, cukup bayar Rp 5 ribu buat wisatawan lokal, dan Rp 10 ribu buat turis manacanegara. Ya seperti hutan magrove pada umumnya, ada jembatan kayu ditengah pohon-pohon magrove. Yang istimewa adalah, ada fauna primata asli kalimantan di sana, Bekantan.











Image result for bekantan
Saya gak dapat foto bekantannya dari dekat, jadi saya carikan di google aja. Cukup menggambarkan kalo bekantan itu sejenis monyet tapi bulunya merah dan hidungnya mancung. Langka dan dilindungi. (Source: idntimes.com)
Terus ke Museum Rumah Bundar, peniggalan Belanda. Tapi ternyata setelah kesana, museumnya udah dialih fungsikan jadi kantor dinas budaya. 







Pelabuhan Laut Tengkayu. Menuju Sebatik, Malinau, Nunukan, Bulungan dan pulau se-Kaltara lainnya lewat penyeberangan ini guys.
Pantai Amal

Hari terakhir, saya ke Pantai Amal. Tapi cuma numpang duduk dan nginjek pasir. Karena waktu itu terik terik banget dan sorenya udah harus balik. Total saya 5 hari 4 malam di Tarakan (12-16 Agustus) makanya saya kasih judul "120 Hours in Tarakan."  Kesimpulannya betah dan mau balik lagi ke sana. Terima kasih Tika yang sudah kasih kesempatan melihat Tarakan dan membiayai perjalanan pergi-pulang ini. 

Di antar Lathi dan Tika ke Bandara. See you very soon guys 😘😘
Karena ini travelog yaa, jadi saya kudu kasih panduan untuk mengunjungi Tarakan. These are my some tips and travel guides to Tarakan. Check this out:

Travel Guides;
  • Karena Tarakan sebuah pulau, jadi kalian bisa menuju ke sana dengan dua alternatif perjalanan. Laut dan udara.
  • Saya gak ngerti kalau lewat laut. Tapi kalau penerbangan, setelah mendarat di Bandara Internasional Juwata Tarakan kalian bisa naik taksi bandara menuju destinasi kalian. 
Recommendation;
  • Tempat wisata pendidikan: Kawasan Konservasi Magrove dan Bekantan (KKMB), Museum Rumah Bundar, Makam Tentara Jepang, Benteng Pertahanan Belanda, Penangkaran Buaya.
  • Wisata Religi: Islamic Center Baitul Izzah
  • Wisata Adat: Pesta Rakyat Iraw Tengkayu
  • Wisata Alam: Pantai Amal, Wana Wisata Persemaian, Kebun Anggrek, Taman Pelabuhan, Taman Oval dll (Di Tarakan banyak taman kota) 
  •  
Kendala: 
  • Transportasi. Di bandara hanya ada taksi bandara menuju kota. Jarang ada angkutan umum kayak bus atau angkot. Jadi agak susah kalau backpakeran sendiri. Mesti punya temen yang bisa jemput.
  • Sering mati lampu. Jadi pastikan kamu bawa powerbank dan selalu charge hp kalo  listrik lagi nyala. 
  • Banyak hotel, tapi saya gak liat ada guest house. Buat para backpaker pasti lebih seneng (hemat) nginap di guesthouse ketimbang hotel. 
Demikian pengalaman pribadi beserta travel guides ala kadarnya dari saya. Yang baca semoga bisa berkunjung ke Tarakan. 



Thank you and see you

Khajjar R

Share:

0 komentar