27TH FEBRUARY
Saya justru di ingatkan Facebook ketika tidak
sengaja membukanya di tanggal 28. “Luluk Munawaroh berulang tahun kemarin”
tulis Facebook mengingatkan. Astaga Facebook saja lebih baik dari saya,
adiknya.
Saya mau langsung ucapkan saat itu, tapi kelewat
telat, masak tidak membuat apapun. Minimal ada kue kecil dengan lilin yang
bertuliskan selamat ulang tahun. Lalu saya upload. Tapi untuk ibu yang sudah
punya dua anak, saya rasa hal macam begitu tidak perlu lagi.
Jadilah saya tulis saja catatan ini. Special
di ulang tahun Mba Luluk yang ke 28.
Mba Luluk adalah anak pertama dari tiga
bersaudara di keluarga kami. Saya yang paling beruntung menjadi anak tengah.
Punya kakak dan adik. Nama lengkapnya adalah Luluk Munawaroh. Bahasa arab,
artinya mutiara bersinar. Nama itu dari bapak, semua nama kami memang pemberian
bapak. Mba Luluk, saya –Khajjar Rohmah-, dan adik saya Qoriatul Hidayah. All of our names have
beautiful meanings. Thanks Dad!
Di keluarga kami tidak pernah ada momen
merayakan ulang tahun. Pertama, karna memang di kampung kami, momen
bertambahnya usia bukan sesuatu yang harus dirayakan. Perayaan untuk anak itu,
hanya tasmiyahan, sunatan, dan khatam Qur’an. Kedua, tingkat kedewasaan anak di
keluarga kami, tidak di ukur berdasarkan umur, tapi jenjang pendidikan. Kamu
sudah kelas 3 SMP atau kamu sudah kuliah, bukan kamu sudah umur sekian-sekian.
Bapak dan mamak malah tidak pernah walau
sekedar mengucapkan ketika ulang tahun kami. Mamak biasanya ingat, tapi diam
saja. Bapak lebih parah lagi. Hari lahir kami saja tidak pernah hafal.
Saya baru mengenal momen merayakan ulang
tahun itu ketika MTs (setingkat SMP). Ketika masa-masa remaja ababil yang tidak
tau memasak. Jadi melempar tepung dan telur ke teman yang ulang tahun. Lalu
dengan wajah berbinar-binar dan tertawa gembira, kami menyebutnya “SURPRISE”.
Kembali ke Mba Luluk, punya kakak perempuan
itu anugerah terbesar dalam hidup. Punya teman sharing, punya contoh, -sebagai
adik kita pasti mengikuti apapun yang kakak kita lakukan, dari berpakaian dan
lain sebagainya-, dan punya pembimbing.
Sejak kecil, saya dan Mba Luluk tidak pernah
berkelahi. Mungkin karena jarak umur kami lumayan terpaut jauh, lima tahun. Mba
Luluk kelahiran 1989 dan saya 1994. Atau mungkin dia memang senang menjadi
kakak yang sayang dengan adiknya. Saya ingat waktu Mba Luluk memberi tau saya
ketika kami mau punya adik –Qori-. Dia bilang “Jar, kita mau punya adik,”
wajahnya berbinar-binar dan senyum Mba Luluk mengembang. Saya hanya memperlihatkan
wajah datar tanpa bicara. “Apa asyiknya?” pikir saya yang berusia 6 tahun saat
itu.
Mba Luluk itu sudah seperti teman, sahabat,
bahkan ibu muda buat saya. Semua hal saya ceritakan padanya. Dia juga selalu
mendukung apapun yang saya lakukan. Saya ingat sekali waktu saya pertama kali
masuk sekolah dasar. Rasanya seperti dia yang lebih semangat. Saya biasa saja.
Dia yang menyetrika seragam saya, mengucir
rambut dan memasak sarapan. Karena kebetulan sekolah mba Luluk masuk siang. Jadi
pagi hari dia habiskan untuk mengurus saya. Sedangkan mamak setiap pagi sudah
sibuk di warung.
Dari awal saya masuk sekolah, Mba Luluk selalu
berpesan, “kamu harus ranking 1 yaa Jar,” jadi saat itu yang saya tau, ranking di
sekolah itu cuma ada 1. Kalau tidakk dapat ranking satu yaa tidak ranking. Saat
pembagian raport tiba, saya ingat sekali yang membagikan pak Suwandi penjaga
sekolah. Saat nama saya di panggil, saya tanya, “saya ranking berapa pak?”
“dua.” Jawap Pak Wandi singkat.
Saya nanya balik, “lo yang ranking 1 siapa?”
“Wawan,” jawabnya lagi. Saya langsung
berjalan kecewa, saya gagal dapat ranking 1. Saya benar-benar tidak menerima
ranking 2 itu. Bahkan ketika seorang teman menghampiri saya dan bertanya, “Jar
kamu ranking berapa?”
“dua”
“wah, aku delapan, jadi tinngian aku dong,”
Saya tidak menyadari itu lucu, saking
kecewanya saya tidak mendapat ranking 1.
Sampai di rumah, saat itu bertepatan, dengan
acara tasmiahan adik saya, Qori. Belum kaki saya menginjak halaman rumah, Mbak
Luluk sudah menghampiri saya.
“Ranking berapa Jar?”
“Dua,” saya menjawab lemas,
“Wah hebat. Siapa yang ranking 1?”
“Wawan.”
Saat itu saya yang masih kecil sudah menerima
beban sebagai anak Pak Pri tokoh agama di kampung dan adik Mba Luluk yang punya
sejarah selalu ranking 1 selama 6 tahun tak terkalahkan di SD. Sebagai penerus
Mba Luluk, saya harus puas hanya di ranking 2.
***
Sampai kelas tiga saya selalu juara dua.
Stagnan. Tidak naik dan turun. Saya memang tidak rajin belajar ketika SD. Saya
yakin yang membuat saya bertahan di ranking 2 karna PR saya yang selalu
mendapat 100 karna dikerjakan Mba Luluk. Ketika kelas 4 dan Mba Luluk mulai
masuk ke jenjang SMA, barulah saya kalang kabut. Karna Mba Luluk melanjutkan
sekolah ke kota madya, dia masuk pesantren.
Saya hampir kewalahan, karna dipaksa mandiri.
Gak ada lagi Mba Luluk yang menyetrika seragam, menyisir rambut, dan menyiapkan
sarapan di rumah. Semua harus saya kerjakan sendiri. Sejak itu, saya tidak
pernah sarapan di rumah, seragam kusut karna tidak disetrika, atau baru disetrika
karna masih basah, pernah juga disetrika tapi gosong, dan semua keruwetan tiap
pagi.
Semua pekerjaan rumah yang biasa dikerjakan
Mba Luluk, juga jadi tanggung jawab saya. Nyuci piring, nyuci baju, ngurus Qori
dan jaga warung. Butuh setahun untuk terbiasa dengan semua pekerjaan itu. Saya
mulai bisa beradaptasi di kelas 5-6.
Ternyata kepergian Mba Luluk juga berpengaruh
terhadap ranking saya di sekolah. Sejak Mba Luluk pergi, tidak ada lagi yang
mengerjakan PR saya. Saya jadi lebih malas lagi belajar. Ditambah pelajaran
kelas 4 – 6 SD yang menurut saya makin susah dan saingan saya yang makin
banyak. Di kelas 4-6, saya hanya bisa meraih ranking 5.
Setelah lulus SD, saya melanjutkan jenjang
sekolah menengah yang sama dengan Mba Luluk dulu. MTs Binaul Muhajirin. Pertimbangan
saya saat itu, memang mencontoh Mba Luluk. Karna di MTs, sekolahnya masuk
siang. Jadi pagi hari saya bisa membantu mamak berjualan di warung atau menjaga
rumah saat mamak pergi ke pasar. Just like she used to do.
Tapi ternyata itu mimpi buruk di MTs. Saya
membawa beban yang sama ketika SD. Sebagai adik yang membawa nama besar Mba
Luluk. Saya tidak bisa melepas bayang-bayang itu. Dimana-mana setiap saya
ketemu, mau guru atau kakak kelas semua bilang “oh adiknya Mba Luluk yaa,”
Mba Luluk memang cukup terkenal. Mantan Ketua
OSIS, juara bertahan ranking 1 selama 3 tahun berturut-turut, dan aktif mengikuti
perlombaan. Saya sudah pasti, digadang-gadang mengikuti jejak yang sama.
Alhamdulillah di MTs, saya bisa sedikit
mempertahankan nama baik Mba Luluk. Saya jadi wakil ketua OSIS –karna ketuanya
anak pemilik yayasan-, dapat ranking 1, dan juga aktif mengikuti perlombaan.
FYI saya sampai ke POSPEDA (Pekan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren Daerah) mewakili kabupaten di tingkat provinsi untuk
lomba puitisasi terjemah Al-Qur’an tahun 2009.
Lepas, MTs. Yang mendorong saya agar sekolah
di pesantren juga Mba Luluk. Tapi saya gak mau masuk pesantren bekas Mba Luluk.
Saya ingin lepas dari bayang-bayangnya. Dulu Mba Luluk di Syaichona Cholil,
saya di Hidayatullah. Sama-sama di Balikpapan.
Satu tahun di pesantren, saya mulai gak
betah. Kemudian saya kirim surat ke orang tua saya, minta dipindahkan, masuk
SMA negeri di rumah. Saya bikin surat yang menyayat-nyayat seakan-akan saya
begitu menderita di pesantren. Gak punya teman lah, sering sakit, dan kisah
sedih yang saya dramatisir. Orang tua mana yang tidak pilu membaca surat
anaknya demikian. Bapak hampir memindahkan saya, tapi Mbak Luluk yang tau akal
bulus saya menentang dan meyakinkan bapak dan mamak bahwa saya harus tetap di
pesantren.
Akhirnya, saya bisa bertahan 3 tahun sampe
lulus dari pesantren. Saya ingat sekali nasihat Mba Luluk waktu saya minta
pindah sekolah. “Cuma 3 tahun nah Jar, 3 tahun, kamu belajar di pesantren. Setelah
itu kamu bebas lagi kok mau kemana, mau kuliah dimana saja. Ijazah dimana-mana
itu sama. Ilmunya yang beda,” karena saya saat itu ingin pindah ke sekolah
negeri.
Ketika masuk kuliah, saya kembali lagi ke
masa seperti dulu. Belajar di tempat Mba Luluk juga belajar di sana. Saya satu
almamter dengan Mba Luluk di Unmul. Tapi untungnya, di Unmul gak ada yang kenal
Mba Luluk. Gak ada lagi kalimat “adiknya Mba Luluk yaa.”
Lagipula saya memang benar-benar mengambil
segala hal yang jauh berbeda dengan Mba Luluk. Dia FKIP, saya FISIP. Dia anak
Pusdima, saya anak pers. Coba kalo saya masuk FKIP dan anak Pusdima, bukan gak
mungkin ada yang mengenali saya dan bilang “adiknya Mba Luluk yaa……..”
***
Sekarang Mba Luluk sudah berusia 28 tahun. Dia
sudah berumah tangga dan memberi saya dua keponakan yang lucu. Zahra dan
Gibran. Doa saya, semoga mba Luluk bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Menjadi
anak yang berbakti buat orang tua kita. And
keep being our dearest sister ever. Wish me will be married in 24 years old
just like you haha.
Kiss kiss
Khajjar R
Tags:
Prolife
0 komentar