BE A LEADER ONE OF MY PASSION
Image by Amovita.com |
Siapa di sini
yang punya cita-cita jadi presiden? Kalau ada, berarti kita sama. Salah satu
alasan kuat kenapa saya ingin menjadi seorang pemimpin adalah atas dasar fitrah
manusia. Saya percaya manusia diciptakan sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Kita
lahir dari rahim seorang ibu juga karena kita adalah sperma terpilih. Yang
memimpin dari ribuan sel sperma lainnya. Jadi, tidak ada alasan kita tidak bisa
memimpin. Semua orang bisa memimpin, setidaknya diri sendiri.
Tetapi, meski
punya passion sebagai pemimpin sejak kecil, sebelum 22 tahun ini saya tidak
pernah dapat kesempatan jadi pemimpin, selain ketua kelas -dan tidak sengaja sebagai ketua teater-. Waktu MTs (Madrasah
Tsanawiyah –setara SMP-) saya mengejar jabatan jadi ketua OSIS. Tapi, karena
rival saya adalah anak pendiri yayasan, dan saat itu pemilihan ketua OSIS
sangat tidak demokratis –ditunjuk oleh guru berdasarkan ranking siswa di kelas-,
saya hanya terpilih sebagai wakil ketua.
Berlanjut di MA
(Madrasah Aliyah –setara SMA-) saya kembali aktif di OSIS dan terpilih sebagai
sekretaris, lagi-lagi bukan ketua. Karena, waktu itu saya sekolah di pesantren
yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Budaya di pesantren saya, memang
selalu memilih ketua OSIS dari kalangan santri asli atau warga pesantren. Bukan
santri yang hanya numpang sekolah ber-asrama untuk jenjang tertentu seperti
saya.
Akhirnya saya
mendapat kesempatan menjadi ketua di klub teater MA. Itupun sebenarnya
menggantikan teman saya –ketua sebelumnya- yang dikeluarkan dari pesantren. Senang
sekali rasanya ketika kita diberi kesempatan untuk memimpin sebuah komunitas
atau organisasi yang memang kita cintai sejak awal –bukan berarti saya senang
karna teman saya dikeluarkan-.
Jadi di
pesantren saya, banyak klub-klub belajar sebagai kegiatan ekstrakurikuler para
santri. Ada klub kaligrafi, klub english, klub bahasa arab, PMR (Palang Merah
Remaja), dan lain-lain. Saya memilih klub teater.
Dimasa
kepemimpinan saya, klub teater MTs dan MA yang sebelumnya dipisah, digabung
menjadi satu dibawah naungan teater MA. Itu artinya saya menangani dua klub
teater, karena meskipun digabung, tetap saja teater ini punya dua jenjang, MTs
dan MA.
Saya berkomitmen
sejak awal, di bawah kepemimpinan saya, teater harus punya 2 pentas tunggal. Pentas
tunggal adalah pentas terbesar yang digelar klub teater setiap tahunnya. Tapi beberapa
tahun terakhir, sebelum saya, pentas tunggal sempat mati karena berbagai hal,
seperti ketidaksiapan pengurus dan minimnya dukungan dari pihak sekolah. Hanya pentas-pentas
kecil saja seperti demo teater untuk open recruitment anggota baru.
Saya sempat
ditentang oleh teman-teman sesama pengurus dan kelas untuk menggelar dua pentas
tunggal. Alasannya karena saat itu kami sudah kelas 12 dan mendekati masa try
out. Satu pentas tunggal dari jenjang MTs, dirasa cukup. Tapi saya tidak
semudah itu menyerah, saya yakin kita pasti bisa menyelenggarakan 2 pentas
tunggal. Apalagi, Umi Indah, pembina teater kami sudah menyiapkan naskah yang
luar biasa berbeda dari pentas-pentas sebelumnya.
Dengan usaha
keras dan doa, akhirnya dua pentas tunggal berhasil dilaksanakan dan mendulang
sukses luar biasa. Di jenjang MTs pentas tunggal berjudul “Kisah Dibalik Cerita”
dan dijenjang MA berjudul “Pitaloka”.
Itulah kenapa
saya senang bisa menajadi seorang pemimpin, karena kita punya kesempatan untuk
menentukan kebijakan. Meskipun bukan berarti kita mengabaikan pendapat orang
lain apalagi menjadi dictator. Saya bisa menebak, kalau saya bukan ketua teater
waktu itu, dan saya tetap keukeuh untuk bikin dua pentas tunggal, pasti tidak
didengar.
Dimasa kuliah
sekarang, dipenghujung semester tujuh, ditahun ke 22, saya mendapat kesempatan
sebagai pemimpin. Sama seperti klub semasa di MA. Tapi bukan teater. Kali ini
di bidang jurnalistik dan pers. Namanya LPM Sketsa Unmul. LPM adalah singkatan
Lembaga Pers Mahasiswa, Sketsa –Suara Kritis dan Edukatif Mahasiswa- dan Unmul
tentu saja nama universitasnya. Universitas Mulawarman.
Sama juga
seperti di pesantren, pemilihan ketua umum di Sketsa melalui musyawarah dalam
rapat formatur. Saya, saat rapat formatur, -meski memiliki target menjadi
ketua- saya sama sekali tidak mengajukan diri sendiri untuk menjadi kandidat
ketua umum. Ya, karna saya sadar, akan kekurangan dan kapasitas saya. Masih ada
nama lain yang saya anggap lebih layak, berkapasitas, dan mampu untuk menempati
posisi itu.
Tapi dari hasil
musyawarah, ternyata disepakati, saya yang dipilih. Perasaan saya saat itu,
entahlah. Saya tidak bisa mendeskripsikan. Yang jelas saya tidak menangis, dan
saya tidak tahu apa saya harus menagis atau tidak. Karena Roro –ketua umum yang
baru saja demisioner- memeluk saya sambil menangis.
Serah terima jabatan Ketua Umum LPM Sketsa Unmul pada Mubes IV (29/10) |
Sama saat
beberapa tahun silam ketika masa pemilihan pengurus inti OSIS di MA, empat
pengurus inti OSIS terpilih, ketua, wakil, bendahara, dan saya sebagai
sekretaris, mereka semua menangis saling berpelukan. Tapi, saya tidak.
Kenapa saya
tidak menangis? Ya karna saya tidak merasa sedih. Saya tau, mendapat amanah itu
suatu hal yang sangat berat. Tapi bukankah amanah selalu memilih pundak yang
tepat?
Saya hanya
berpikir, saya punya tanggung jawab yang lebih besar, saya mendapat kepercayaan
dan saya harus melakukan yang terbaik.
Tags:
Impression
0 komentar