Resensi: Rakyat Belum Merdeka, Sebuah Paradigma Budaya
Identitas Buku
Judul Buku :
Rakyat Belum Merdeka, Sebuah Paradigma Budaya
Jenis Buku :
Non Fiksi
Penulis :
Rendra
Penerbit :
Pustaka Firdaus
Tahun Terbit :
2000
Jumlah
Halaman : 47
Sinopsis
Indonesia adalah
Negara merdeka. Tapi bangsa Indonesia belum merdeka. Para penindas rakyat yang
nyata adalah lembaga eksekutif (pemerintah) orde lama (orla) orde baru (orba)
dan semua partai politik yang ada. Adalah kenyataan budaya bahwa sejak zaman
raja-raja, kolonialisme Belanda dan Jepang, serta rezim orla dan orba, rakyat
tidak pernah menjadi warga Negara dengan hak penuh untuk bebas berpartisipasi dalam
urusan kemasyarakatan, pemerintahan dan kenegaraan.
Di zaman
raja-raja dan kolonialisme Belanda, rakyat adalah kawula atau massa hamba sang
raja. Zaman kolonialisme Jepang, rakyat adalah barisan massa budak yang harus
membantu Dai Nippon dalam perang antar imperialis, Perang Dunia II. Zaman rezim
orba, rakyat adalah massa revolusi dan partai politik. Kemudian di zaman rezim
orba yang didukung oleh ABRI, rakyat hanya dianggap sebagai koor bebek. Daya kritisnya dirusak dan cara berpikir
diseragamkan. Sejak permulaan
reformasi sampai kini, kemerdekaan rakyat tidak pernah diperjuangkan secara
konkrit dan eksplisit oleh para elit DPR dan MPR. Para elit politik hanya
memperjuangkan posisi partai dan golongan. Disangkanya mereka sendiri adalah
suara rakyat padahal mereka sebenarnya adalah golongan politik di antara
golongan-golongan lain dalam masyarakat.
Kelebihan buku
Buku ini menumbuhkan
daya kritis pembaca dan semangat dalam pemberdayaan masyarakat. Tulisan-tulisan
Rendra membuka cakrawala pemikiran kita
tentang hal yang selama ini kita anggap lazim, ternyata tidak. Seperti rakyat Indonesia
yang kita anggap sudah merdeka seperti negaranya, ternyata belum. Hubungan
antara masyarakat dengan pemerintah yang kita anggap lumrah ternyata adalah
tradisi feodalisme masa kini. Pemerintah yang sejatinya adalah melayani rakyat
malah terasa sebaliknya. Rakyat yang melayani pemerintah.
“Pemerintah
menyebut dirinya sebagai ‘pejabat’ dan membedakan diri dengan mahluk yang
disebut ‘pegawai’. Di zaman revolusi setiap orang biasa disapa dengan sebutan ‘bung’
atau saudara. Tetapi begitu kemerdekaan Negara sudah akan mapan, mereka disapa
sebagai ‘bapak’. Dan kalau rakyat datang bertemu, disebut sebagai ‘menghadap’. Sikap
kurang ajar tersebut malah disebut sebagai ‘tata-tertib’.” (hal.13)
Buku ini
menjadi sempurna karena diawal berisi kritik konstruktif pada pemerintah namun
dilengkapi dengan solusi-solusi inovatif lewat 9 Agenda Perjuangan Memerdekakan
Rakyat yang disusun oleh Rendra.
Kelemahan Buku
Kelemahan dari
buku ini adalah bahasa yang mungkin sulit dipahami oleh orang awam. Meski buku
ini mengatas namakan rakyat, namun isi dalam buku ini hanya dapat dipahami oleh
kalangan tertentu. Karena bahasa yang digunakan adalah bahasa politik. Seperti satire, status quo, up-grade, feodalisme,
fasisme. Selain itu terdapat beberapa istilah tanpa keterangan seperti Sapta
Marga, GBHN, dan Security Approach. Dalam
beberapa kalimat juga menggunakan kiasan sehingga memerlukan penerjemahan makna
yang mendalam dari maksud kalimat tersebut. Contohnya “plasma-plasma yang diadakan hanyalah dekor dari basa-basi ide
pemerataan belaka” (hal. 13)
Bahasa yang
digunakan juga sedikit provokatif sehingga dapat menumbuhkan apatisme
masyarakat kepada pemerintah. Seperti “Birokrat adalah golongan yang paling ‘sok’
di dalam masyarakat kita” (hal.12)
Kesimpulan
Kesimpulan
dari buku karya seorang budayawan dan sastrawan, Rendra ini adalah
pemikiran-pemikiran dan kritik pada pemerintah Indonesia yang masih membawa
tradisi-tradisi lama era kolonialisme sampai orde baru yang tidak mengutamakan
kepentingan rakyat. Untuk itu, dalam buku ini Rendra menyusun 9 Agenda
Perjuangan untuk memerdekakan rakyat. Baginya memerdekakan rakyat adalah tugas
masing-masing tiap warga Negara. Dengan cara mandiri, berdikari, berkarya
kemudian bermanfaat bagi sekitar bahkan bangsa dan Negara.
Tags:
Article
0 komentar